MISTERI BULAN SURA
Bulan
Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. . Secara lugas maknanya
adalah merupakan tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang
tradisi Jawa hingga kini masih memiliki pandangan bahwa
bulan Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini saya paparkan arti bulan
Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya.
MELURUSKAN BERITA “burung”
Tradisi
dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang
memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan
Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan
lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru
menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan. Anggapan
seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik
berkaitan erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit
menilai hanya dengan melihat manifestasi perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura itu jauh
dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan
beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul
karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang
dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas
merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara sepihak.
Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag)
maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi
mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam
fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis
mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan alam
semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia terindah
dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan,
dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memuliakan manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan
dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni
pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar
supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga
kelestarian alam merupakan perwujudan syukur tertinggi
umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi
ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat manusia.
Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya tetaplah PERCAYA KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah.
Semua media dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan
kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya
kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa
kaidah dan prinsip religiusitas ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan
maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara
pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik
dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa
kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya
interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya.
Lingkungan alam dilihat memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik.
Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan
meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh
dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau dimensi gaib
sebagai bentuk “keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan oleh
sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini
atau diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya
dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib
sebagai bentuk pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa
dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam
arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit dalam arti
Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera
penglihatan maupun indera batiniah. Meskipun demikian
penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang belum
pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga
cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk
akal, sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka.
Pendapat demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang
tidak semua orang dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum
tentu tapat dengan realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama
sebatas memaparkan yang bersifat universal, garis besar, dan tidak
secara rinci. Perincian mendetail tentang eksistensi alam gaib merupakan
rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap
memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk mengetahuinya walaupun
sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran yang tidak mudah
dicapai.
MISTERI BULAN SURA
Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa. Di
samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa
dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian
rupa. Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai
(membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan
dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan
bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.
Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Sura yang bernama Sura Duraka. Disebut sebagai bulan Sura Duraka karena merupakan bulan di mana terjadi tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana terjadi akumulasi para dedemit yang mencari “korban” para manusia yang tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan Sura biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura Duraka.
Sehingga pada bulan Sura Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah
dan bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah terjadi
sepanjang bulan Januari s/d Februari 2007. Musibah
banyak terjadi di seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM
Senopati di laut Banda yang terkenal sebagai palung laut terdalam di
wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa.
2) Kecelakaan Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat
teluk Mandar, posisi di 40 mil barat laut Majene. 3) Kereta api
mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus selama sebulan. 4)
Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5) Kecelakaan
pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan mengalami
gagal take off, gagal landing, mesin error dsb. 7) Jakarta dilanda
banjir terbesar sepanjang masa. 8) Kapal terbakar di Sulawesi dan
maluku. 9) Kapal laut di selat Karimun terbakar lalu tenggelam memakan
ratusan korban berikut wartawan TV peliput berita. 10) Banjir besar di
Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau Jawa-Sumatra. Dan
masih banyak lagi kecelakaan pribadi yang waktu itu
Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan kecelakaan terbanyak meliputi
darat, laut dan udara.
Atas
beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul
kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa
selama bulan Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;
1. Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga”
(sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial
pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih
ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca
indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan
sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa
menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu
fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai
taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya,
mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali
siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan).
Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung
“beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa
raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
2. Tapa Mbisu
(membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol
ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan
Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan
atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud.
Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
3. Lebih Menggiatkan Ziarah;
pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para
leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah
berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara
ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi
penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau. Sebab makam merupakan monumen sejarah
yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang
dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita
akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita
ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti
kita semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa.
Mengapa harus datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua
warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan,
maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati
oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai keturunannya kita
masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika direnungkan
secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian tidak lebih dari
sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak turun
yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para
leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa
mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar.
Betapa teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan. Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.
4. Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi
anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam
uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga.
Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang
tersirat di dalamnya (silahkan dibaca dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing
yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga,
serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya
si kucing.
5. Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau memetri
warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki
segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah
hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di
masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan
kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal
para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh
menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar
berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para
leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya.
Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur
atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan
demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded)
dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak
menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik
bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.
6. Larung sesaji;
larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan
(dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi
budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau
kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman
makna esensial dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis
tentang konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai
tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan
ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha
Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya
penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi,
bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang
bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari
bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk
melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah
seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam
merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. Ketiga;
selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk interaksi
harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula
bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan
bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik.
Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun
sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya
menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan
sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan
bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan
kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya
jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.