yang mengaku suka jalan-jalan, saya sebenarnya malu
karena masih banyak objek wisata alam maupun budaya yang belum pernah
saya kunjungi di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Maka dari itu, setiap
mudik, saya selalu berusaha mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah
saya jamah.
Telusur candi adalah salah satu aktivitas pilihan bila saya sedang mudik. Selain karena lokasi-lokasinya cukup menyenangkan batin ini objeknya juga tidak pernah mengecewakan. Belum lama ini saya akhirnya sampai juga ke Candi Ijo, candi dengan posisi tertinggi di Yogyakarta, yang berada di puncak bukit arah selatan Candi Prambanan. Lokasinya dekat dengan beberapa kompleks candi lain, yaitu Istana Ratu Boko dan Candi Banyunibo.
Awalnya saya mengira di sini hanya ada satu atau dua buah candi kecil. Ternyata salah besar! Kompleks Candi Ijo cukup besar mencakup 17 struktur bangunan, sebagian besar telah dipugar sehingga tampak cantik.
Layaknya sebuah candi Hindu, relief juga ditemukan di dinding candi maupun di gerbangnya. Candi ini juga terpengaruh arsitektur Buddha dengan adanya patung raksasa di gerbang. Beberapa candi lain di sekitar Prambanan juga memiliki gaya yang sama, yang pernah saya kunjungi yaitu Candi Sari dan Candi Plaosan.
Candi Ijo dibangun pada abad 9 dengan tiga candi perwara yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Brahma, Siwa, Wisnu. Di kompleks ini juga terdapat sebuah lokasi pembakaran api pengorbanan yang lazim disebut homa. Ini merupakan bukti bahwa pendiri candi ini menyembah Dewa Brahma.
Arca yang dapat dijumpai di sini adalah sepasang perempuan dan laki-laki yang sedang melayang ke arah yang berbeda. Makna arca ini adalah sebagai pengusir roh jahat. Selain itu, sepasang arca ini melambangkan persatuan antara Dewa Siwa dan Dewi Uma.
Kompleks Candi Ijo seolah-olah terbagi menjadi dua. Di bagian timur tempat parkir, adalah lokasi utama dengan candi-candi perwara. Saya harus menaiki anak tangga untuk sampai di lokasi tersebut. Di bagian barat, ada candi kecil yang berdiri, beberapa candi lain masih berupa reruntuhan yang belum dipugar.
Saya tidak melihat banyak pengunjung lainnya. Hanya ada sekelompok mahasiswa dan sepasang muda-mudi yang tampaknya sedang membuat foto-foto pranikah. Memang, Candi Ijo tidak terlalu dikenal. Selain itu, walaupun sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dari Prambanan, akses harus melalui jalan sempit naik bukit yang berlubang-lubang. Kalau istilah orang Jawa “mblusuk-mblusuk”.
Masuknya pun tidak dipungut bayaran. Anda hanya harus melapor pada penjaga yang rumahnya berada di ujung gerbang masuk parkiran. Meski begitu, pengunjung dapat memberikan sumbangan sekadarnya.
Candi Ijo ini sangat bagus sehingga saya rasa, amat sayang bila jarang dikunjungi. Lokasinya yang berada di atas bukit hijau (dikenal dengan nama Gumuk Ijo) membuat saya bisa melihat hijaunya sekeliling. Tiba-tiba saja terdengar suara pesawat terbang dari sebuah pesawat penumpang yang terbang rendah. Ternyata tepat di atas Candi Ijo merupakan jalur pesawat yang hendak mendarat di Bandara Internasional Adisutjipto. Saya bahkan bisa melihat langsung landasan bandara, melihat pesawat yang mendarat maupun yang terbang.
Kabarnya, keberadaan Gumuk Ijo inilah yang membuat landasan Adisutjipto tidak dapat diperpanjang ke arah timur.
Telusur candi adalah salah satu aktivitas pilihan bila saya sedang mudik. Selain karena lokasi-lokasinya cukup menyenangkan batin ini objeknya juga tidak pernah mengecewakan. Belum lama ini saya akhirnya sampai juga ke Candi Ijo, candi dengan posisi tertinggi di Yogyakarta, yang berada di puncak bukit arah selatan Candi Prambanan. Lokasinya dekat dengan beberapa kompleks candi lain, yaitu Istana Ratu Boko dan Candi Banyunibo.
Awalnya saya mengira di sini hanya ada satu atau dua buah candi kecil. Ternyata salah besar! Kompleks Candi Ijo cukup besar mencakup 17 struktur bangunan, sebagian besar telah dipugar sehingga tampak cantik.
Layaknya sebuah candi Hindu, relief juga ditemukan di dinding candi maupun di gerbangnya. Candi ini juga terpengaruh arsitektur Buddha dengan adanya patung raksasa di gerbang. Beberapa candi lain di sekitar Prambanan juga memiliki gaya yang sama, yang pernah saya kunjungi yaitu Candi Sari dan Candi Plaosan.
Candi Ijo dibangun pada abad 9 dengan tiga candi perwara yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Brahma, Siwa, Wisnu. Di kompleks ini juga terdapat sebuah lokasi pembakaran api pengorbanan yang lazim disebut homa. Ini merupakan bukti bahwa pendiri candi ini menyembah Dewa Brahma.
Arca yang dapat dijumpai di sini adalah sepasang perempuan dan laki-laki yang sedang melayang ke arah yang berbeda. Makna arca ini adalah sebagai pengusir roh jahat. Selain itu, sepasang arca ini melambangkan persatuan antara Dewa Siwa dan Dewi Uma.
Kompleks Candi Ijo seolah-olah terbagi menjadi dua. Di bagian timur tempat parkir, adalah lokasi utama dengan candi-candi perwara. Saya harus menaiki anak tangga untuk sampai di lokasi tersebut. Di bagian barat, ada candi kecil yang berdiri, beberapa candi lain masih berupa reruntuhan yang belum dipugar.
Saya tidak melihat banyak pengunjung lainnya. Hanya ada sekelompok mahasiswa dan sepasang muda-mudi yang tampaknya sedang membuat foto-foto pranikah. Memang, Candi Ijo tidak terlalu dikenal. Selain itu, walaupun sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dari Prambanan, akses harus melalui jalan sempit naik bukit yang berlubang-lubang. Kalau istilah orang Jawa “mblusuk-mblusuk”.
Masuknya pun tidak dipungut bayaran. Anda hanya harus melapor pada penjaga yang rumahnya berada di ujung gerbang masuk parkiran. Meski begitu, pengunjung dapat memberikan sumbangan sekadarnya.
Candi Ijo ini sangat bagus sehingga saya rasa, amat sayang bila jarang dikunjungi. Lokasinya yang berada di atas bukit hijau (dikenal dengan nama Gumuk Ijo) membuat saya bisa melihat hijaunya sekeliling. Tiba-tiba saja terdengar suara pesawat terbang dari sebuah pesawat penumpang yang terbang rendah. Ternyata tepat di atas Candi Ijo merupakan jalur pesawat yang hendak mendarat di Bandara Internasional Adisutjipto. Saya bahkan bisa melihat langsung landasan bandara, melihat pesawat yang mendarat maupun yang terbang.
Kabarnya, keberadaan Gumuk Ijo inilah yang membuat landasan Adisutjipto tidak dapat diperpanjang ke arah timur.