Dalam beberapa catatan kuno maksud Jawa adalah budi luhur.
Bahkan ada pula memberikan pengertian Jawa sebagai gemah ripah loh
jinawi toto tentrem kerto raharjo. Bermaksud Tanah Jawa adalah tanah
yang subur, adil, makmur kaya dengan hasil buminya, tersusun rapi, adil,
damai dan sejahtera.
Konon ada juga pasukan expedisi dari Negara China yang mengatakan di
Tanah Jawa tidak ada peraturan sebab segalanya sudah teratur.
Hal inilah yang menyebabkan banyak suku bangsa yang datang ke Tanah Jawa
dengan pelbagai minat dan kepentingan termasuklah menyebarkan agama.
Sudah tentu di antaranya Buddha, Hindu, Islam, Kristian. Orang Jawa
sendiri pada saat itu sudah mengenal keberadaan Tuhan dengan menggunakan
istilah Sing Nggawe urip (Yang Menciptakan Kehidupan), Gusti Pengeran
Kang Murbhe ing jagad (Yang memiliki Dunia dan segala isinya) dan
sebagainya.
Dalam konsep spiritual, kita sekarang mengenal apa yang disebut sebagai
Ilmu Kejawen. Yang jelas sekali maksudnya adalah ilmu yang mempelajari
Yang Maha Budi Luhur.
Suatu ketika di Tanah Jawa, hiduplah seorang prabu, namanya Prabu Aji
Caka. Konon beliau memiliki suatu pusaka, sayang sekali tidak pernah
tertulis apa bentuk pusaka tersebut tetapi kita namakan sahaja pusaka
ini sebagai tosan aji. Disamping memiliki pusaka yang ampuh, beliau juga
mempunyai 2 orang pembantu beliau yang sangat setia.
Suatu saat sedang Prabu Aji Caka hendak melakukan perjalanan, beliau
sempat berpesan secara diam-diam kepada salah seorang pembantunya agar
menjaga pusaka yang beliau miliki dengan baik. Beliau berpesan agar
jangan menyerahkan pusaka itu kepada sesiapapun kecuali beliau sendiri
yang memintanya.
Prabu Aji Caka pun berangkat melakukan pengembaraan dengan salah seorang
pembantunya dan seorang lagi pembantunya diamanahkan menjaga pusaka
beliau di kediamannya (pesanggrahan) .
Dalam perjalanan pengembaraan, ternyata Prabu Aji Caka memerlukan pusaka
yang ia tinggalkan di kediamannya, lalu diutuskan pembantunya yang
melakukan pengembaraan bersama untuk mengambil pusaka di situ, sudah
tentu pembantu yang ditugaskan menjaga pusaka tersebut menolak dan
mempertahankan pusaka beliau sesuai dengan tugas atau pesan yang telah
disampaikan oleh Prabu Aji Caka.
Setelah beliau menunggu cukup lama pembantu yang ditugaskan untuk
mengambil pusaka tidak jugakembali, lalu beliau kembali ke kediaman nya
dan beliau menemukan kedua pembantunya telah meninggal dunia.
Saat itulah beliau berkata "Hono caroko, doto sowolo, podo joyonyo, mogo
botongo", yang bermaksud ada dua orang satria, saling bertempur,
kedua-duanya sama-sama hebat, sama-sama kuat dan akhirnya sama-sama
meninggal dunia.
Kata kata beliau inilah yang menjadi huruf Jawa kuno iaitu Ho, No, Co,
Ro, Ko, Do, To, So, Wo, Lo, Po, Do, Jo, Yo, Nyo, Mo, Go, Bo, To, Ngo.
Semuanya ada huruf 20, dan saat itulah diawali sebagai tahun 1 Caka.
Sekarang ini, tahun kita adalah tahun 2004 manakal Tahun Caka adalah
tahun 1926, jika dibuat pengiraan iaitu 2004 - 1926 = 78 tahun.
Ini bermaksud pada abad I, sekitar (sebelum) tahun 78, bangsa Jawa telah
mengenal pusaka, memang dalam peristiwa tersebut kita tidak tahu
bentuknya tapi setidak-tidaknya katakanlah tosan aji yang termasuk juga
telah mengenal budaya keris.
Lebih tegasnya, budaya tosan aji, termasuk budaya keris adalah budaya
asli yang memang hidup di masyarakat Jawa sejak dahulu kala, sebelum
kedatangan bangsa asing ke tanah Jawa dengan kepentingannnya
masing-masing, termasuk kepentingan menyiarkan agama, termasuk juga
tentunya menyiarkan agama Budha.
Sekarang kita ke Borobudur iaitu suatu penelitian yang dilakukan oleh
orang bangsa Jepun dengan menggunakan kajian radioaktif. Hasil
penelitian mereka mengatakan candi Borobudur didirikan pada abad ke VIII
dan diperkirakan pembangunannya memerlukan waktu kira-kira 25 tahun
tetapi ada juga yang mengatakan Borobudur dibangun pada abad ke IV,
memang banyak ahli yang mengkaji sehingga banyak sekali percanggahan
pendapat.
Walaupun terdapat percanggahan pendapat, apa yang penting bagi kita
adalah untuk memahami bahawa relief yang ada di Candi Borobudur inilah
merupakan prototype keris yang dikatakan oleh buku-buku keris sebagai
keris Bethok Budho.
Ini bermaksud pada tahun berapa pun Candi Borobudur itu didirikan, bangsa Jawa telah mengenal bentuk tosan aji keris.
Pada saat agama Budha disebarkan di Tanah Jawa tentunya para pendita
Budha tahu bahwa keris adalah karya spiritual yang terkandung
simbol-simbol kehidupan untuk manusia agar selalu berjalan menuju ke
Yang Maha Bijaksana lalu mereka gunakan simbol ini dengan sedikit
perubahan agar keris tidak terlihat menakutkan, sederhana, dan ringkas.
Itulah sebabnya mengapa keris ada di relief Candi Borobudur dan candi
ini adalah tempat beribadat umat Budha dari seluruh dunia. Candi ini
mempunyai 7 tingkat perjalanan manusia menuju Tuhan Yang Maha Esa yang
akhirnya (tingkat VII) manusia akan mengalami apa yang mereka percayai
sebagai Moksa.
Sekali lagi, keris ada dalam relief perjalanan manusia menuju Moksa,
pastinya para pendita saat itu tahu betul bahwa keris termasuk
sebahagian dari spiritual dan budaya tempatan yang tidak diragukan lagi
nilai spiritualnya.
Sudah pasti keris budha tidak akan kehilangan kesinambungan dalam
kehidupan spiritual masyarakat Jawa, yang di masa-masa selanjutnya keris
budha juga tetap ada, sampai di Zaman Singasari, nilai spritual itu
tetap ada, meskipun telah mengalami perubahan. Perubahan inilah banyak
buku-buku keris menyebutnya sebagai keris Budha Tangguh Borobudur,
Pajajaran, Singosari atau ada juga yang menyebut sebagai Jalak Budha dan
Betok Budha.
Hal yang sama dimana ada pengaruh lain (asing) atau adanya penyerapan
budaya tempatan dengan budaya asing dapat dilihat pada keris dapur singo
barong. Bentuk singa lebih menyerupai Kilin, singa seperti tarian
barong china ada juga penyerapan dalam bahasa seperti Sunan yang asalnya
dari bahasa china "su-suhu-nan" (suhu) yang disembah atau yang
dihormati.
Pengaruh budaya tempatan dan asing terus berkembang, sampai pada saat
masuknya Islam di tanah Jawa Sunan Kalijaga juga berkarya yang pada saat
itu dapur cengkrong lebih dikenal sebagai dapur yang cocok digunakan
oleh kaum alim ulama yang melakukan dakwah di Tanah Jawa.
Masih ada lagi pengaruh budaya Jawa dan budaya asing yang juga mempengaruhi ciri-ciri khas keris atau tosan aji.
Keris Buda adalah berbeza dengan keris yang disebut Keris Betok kerana
Keris Buda menggunakan ricikan sedangkan Keris Betok hanya bergandik
polos. Adalah sukar untuk mengetahui dari daerah manakah si pemilik asal
Keris Buda ini.
Ini adalah kerana mengikut sejarahnya, bala tentera Singosari pernah
menyerang pelbagai daerah di Sumatera seperti Jambi dan secara tidak
langsung telah juga menyebarkan budaya keris di serata daerah tersebut.
Dari daerah Riau dan Jambi di pantai timur Sumatra melalui hubungan
kekerabatan dan perdagangan budaya keris juga telah meluas ke
Semenanjung Malaysia.