.

1 Jan 2013

KERIS DJOWO

Dalam beberapa catatan kuno maksud Jawa adalah budi luhur.

Bahkan ada pula memberikan pengertian Jawa sebagai gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Bermaksud Tanah Jawa adalah tanah yang subur, adil, makmur kaya dengan hasil buminya, tersusun rapi, adil, damai dan sejahtera.

Konon ada juga pasukan expedisi dari Negara China yang mengatakan di Tanah Jawa tidak ada peraturan sebab segalanya sudah teratur.

Hal inilah yang menyebabkan banyak suku bangsa yang datang ke Tanah Jawa dengan pelbagai minat dan kepentingan termasuklah menyebarkan agama. Sudah tentu di antaranya Buddha, Hindu, Islam, Kristian. Orang Jawa sendiri pada saat itu sudah mengenal keberadaan Tuhan dengan menggunakan istilah Sing Nggawe urip (Yang Menciptakan Kehidupan), Gusti Pengeran Kang Murbhe ing jagad (Yang memiliki Dunia dan segala isinya) dan sebagainya.

Dalam konsep spiritual, kita sekarang mengenal apa yang disebut sebagai Ilmu Kejawen. Yang jelas sekali maksudnya adalah ilmu yang mempelajari Yang Maha Budi Luhur.

Suatu ketika di Tanah Jawa, hiduplah seorang prabu, namanya Prabu Aji Caka. Konon beliau memiliki suatu pusaka, sayang sekali tidak pernah tertulis apa bentuk pusaka tersebut tetapi kita namakan sahaja pusaka ini sebagai tosan aji. Disamping memiliki pusaka yang ampuh, beliau juga mempunyai 2 orang pembantu beliau yang sangat setia.

Suatu saat sedang Prabu Aji Caka hendak melakukan perjalanan, beliau sempat berpesan secara diam-diam kepada salah seorang pembantunya agar menjaga pusaka yang beliau miliki dengan baik. Beliau berpesan agar jangan menyerahkan pusaka itu kepada sesiapapun kecuali beliau sendiri yang memintanya.

Prabu Aji Caka pun berangkat melakukan pengembaraan dengan salah seorang pembantunya dan seorang lagi pembantunya diamanahkan menjaga pusaka beliau di kediamannya (pesanggrahan) .

Dalam perjalanan pengembaraan, ternyata Prabu Aji Caka memerlukan pusaka yang ia tinggalkan di kediamannya, lalu diutuskan pembantunya yang melakukan pengembaraan bersama untuk mengambil pusaka di situ, sudah tentu pembantu yang ditugaskan menjaga pusaka tersebut menolak dan mempertahankan pusaka beliau sesuai dengan tugas atau pesan yang telah disampaikan oleh Prabu Aji Caka.

Setelah beliau menunggu cukup lama pembantu yang ditugaskan untuk mengambil pusaka tidak jugakembali, lalu beliau kembali ke kediaman nya dan beliau menemukan kedua pembantunya telah meninggal dunia.

Saat itulah beliau berkata "Hono caroko, doto sowolo, podo joyonyo, mogo botongo", yang bermaksud ada dua orang satria, saling bertempur, kedua-duanya sama-sama hebat, sama-sama kuat dan akhirnya sama-sama meninggal dunia.

Kata kata beliau inilah yang menjadi huruf Jawa kuno iaitu Ho, No, Co, Ro, Ko, Do, To, So, Wo, Lo, Po, Do, Jo, Yo, Nyo, Mo, Go, Bo, To, Ngo. Semuanya ada huruf 20, dan saat itulah diawali sebagai tahun 1 Caka.

Sekarang ini, tahun kita adalah tahun 2004 manakal Tahun Caka adalah tahun 1926, jika dibuat pengiraan iaitu 2004 - 1926 = 78 tahun.

Ini bermaksud pada abad I, sekitar (sebelum) tahun 78, bangsa Jawa telah mengenal pusaka, memang dalam peristiwa tersebut kita tidak tahu bentuknya tapi setidak-tidaknya katakanlah tosan aji yang termasuk juga telah mengenal budaya keris.

Lebih tegasnya, budaya tosan aji, termasuk budaya keris adalah budaya asli yang memang hidup di masyarakat Jawa sejak dahulu kala, sebelum kedatangan bangsa asing ke tanah Jawa dengan kepentingannnya masing-masing, termasuk kepentingan menyiarkan agama, termasuk juga tentunya menyiarkan agama Budha.

Sekarang kita ke Borobudur iaitu suatu penelitian yang dilakukan oleh orang bangsa Jepun dengan menggunakan kajian radioaktif. Hasil penelitian mereka mengatakan candi Borobudur didirikan pada abad ke VIII dan diperkirakan pembangunannya memerlukan waktu kira-kira 25 tahun tetapi ada juga yang mengatakan Borobudur dibangun pada abad ke IV, memang banyak ahli yang mengkaji sehingga banyak sekali percanggahan pendapat.

Walaupun terdapat percanggahan pendapat, apa yang penting bagi kita adalah untuk memahami bahawa relief yang ada di Candi Borobudur inilah merupakan prototype keris yang dikatakan oleh buku-buku keris sebagai keris Bethok Budho.

Ini bermaksud pada tahun berapa pun Candi Borobudur itu didirikan, bangsa Jawa telah mengenal bentuk tosan aji keris.

Pada saat agama Budha disebarkan di Tanah Jawa tentunya para pendita Budha tahu bahwa keris adalah karya spiritual yang terkandung simbol-simbol kehidupan untuk manusia agar selalu berjalan menuju ke Yang Maha Bijaksana lalu mereka gunakan simbol ini dengan sedikit perubahan agar keris tidak terlihat menakutkan, sederhana, dan ringkas.

Itulah sebabnya mengapa keris ada di relief Candi Borobudur dan candi ini adalah tempat beribadat umat Budha dari seluruh dunia. Candi ini mempunyai 7 tingkat perjalanan manusia menuju Tuhan Yang Maha Esa yang akhirnya (tingkat VII) manusia akan mengalami apa yang mereka percayai sebagai Moksa.

Sekali lagi, keris ada dalam relief perjalanan manusia menuju Moksa, pastinya para pendita saat itu tahu betul bahwa keris termasuk sebahagian dari spiritual dan budaya tempatan yang tidak diragukan lagi nilai spiritualnya.

Sudah pasti keris budha tidak akan kehilangan kesinambungan dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa, yang di masa-masa selanjutnya keris budha juga tetap ada, sampai di Zaman Singasari, nilai spritual itu tetap ada, meskipun telah mengalami perubahan. Perubahan inilah banyak buku-buku keris menyebutnya sebagai keris Budha Tangguh Borobudur, Pajajaran, Singosari atau ada juga yang menyebut sebagai Jalak Budha dan Betok Budha.

Hal yang sama dimana ada pengaruh lain (asing) atau adanya penyerapan budaya tempatan dengan budaya asing dapat dilihat pada keris dapur singo barong. Bentuk singa lebih menyerupai Kilin, singa seperti tarian barong china ada juga penyerapan dalam bahasa seperti Sunan yang asalnya dari bahasa china "su-suhu-nan" (suhu) yang disembah atau yang dihormati.

Pengaruh budaya tempatan dan asing terus berkembang, sampai pada saat masuknya Islam di tanah Jawa Sunan Kalijaga juga berkarya yang pada saat itu dapur cengkrong lebih dikenal sebagai dapur yang cocok digunakan oleh kaum alim ulama yang melakukan dakwah di Tanah Jawa.

Masih ada lagi pengaruh budaya Jawa dan budaya asing yang juga mempengaruhi ciri-ciri khas keris atau tosan aji.


Keris Buda adalah berbeza dengan keris yang disebut Keris Betok kerana Keris Buda menggunakan ricikan sedangkan Keris Betok hanya bergandik polos. Adalah sukar untuk mengetahui dari daerah manakah si pemilik asal Keris Buda ini.

Ini adalah kerana mengikut sejarahnya, bala tentera Singosari pernah menyerang pelbagai daerah di Sumatera seperti Jambi dan secara tidak langsung telah juga menyebarkan budaya keris di serata daerah tersebut. Dari daerah Riau dan Jambi di pantai timur Sumatra melalui hubungan kekerabatan dan perdagangan budaya keris juga telah meluas ke Semenanjung Malaysia.