|
keris jalak sangu tumpeng mataram pedaringan kebak |
Dalam pakem perkerisan, sangat banyak dapur jalak yang kita kenal,
antara lain : Jalak, Jalak Ngore, Jalak Dinding, Jalak Sinom, dan Jalak
Sangu Tumpeng. Dapur Jalak hampir semuanya merupakan dapur yang populer.
Bahkan kerap ditemui dapur Jalak Sangu Tumpeng disimpan sebagai pusaka
keluarga. Keris dapur ini kadang diberikan orang tua kepada anaknya ketika hendak pergi merantau mencari nafkah (bekerja).
Dapur Keris Jalak merupakan dapur keris yang telah ada sejak
jaman kuno. Bagi sebagian penggemar keris, dapur Jalak Sangu Tumpeng
dipercaya sebagai pusaka yang mempunyai tuah ke-rejeki-an atau memudahkan mencari nafkah. Bagi
sebagian orang hal semacam ini dianggap kepercayaan yang mistik dan
sirik. Meski dalam kenyataannya, nuansa cultural leluhur (khususnya
orang jawa) akan sulit ditinggalkan sampai kapan pun dalam memandang
suatu pusaka. Karena itu tuduhan syirik jelas ditolak mentah-mentah,
sebab budaya leluhur mengajarkan demikian dan sama sekali tidak
memper-tuhan-kan sebilah keris. Meski demikian benturan anatar budaya
dan agama masih saja sering terjadi.
Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran.
Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu
dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan
membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap
kuno ketinggalan jaman.
Minimnya budaya baca-tulis bangsa ini di jaman dahulu menyebabkan
banyak pengajaran hidup dilakukan secara lisan (tutur). Dan agar lebih
mudah mengingatnya, banyak hal “dicatat” dalam bentuk simbol-simbol dari
suatu produk budaya, misalkan dalam bentuk tarian, gambar, ukiran,
cerita, upacara-upacara tradisi, dan tak terkecuali keris.
Tidak ada ukuran / standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris
harus diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah
dapur keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala
masing-masing individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu
karya seni keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran
mengenai hidup dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka
lebar-lebar setiap interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada
ajaran budi luhur para leluhur.
Penamaan dapur keris tidak lepas dari maksud dan tujuan yang hendak
disampaikan dalam dapur keris itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari
makna setiap ricikan yang ada dalam sebilah keris. Mungkin dengan latar
belakang demikianlah, seorang empu menciptakan dapur dan memberinya
nama. Empu, dalam memberi nama dapur keris tidaklah sembarangan. Sebuah
nama dapat merupakan doa, harapan, simbol dari suatu ajaran atau pun
pandangan hidup.
Para empu pinilih tersebut tidak hanya ahli dalam hal teknis olah tempa dan laras(“ilmu”), namun juga memiliki keleluasaan pengetahuan olah batin (“ngelmu”) yang
dimanifestasikan dalam karyanya, baik secara estetika teknis fisik
maupun aspek spiritual. Sehingga, dalam perkembangannya keris bukan
hanya sebagai senjata, namun juga sebagai karya seni tempa logam yang
memuat nilai-nilai budaya luhur.
Seseorang yang memberikan keris kepada orang lain atau
keturunananya, seolah memberikan pesan dan harapan, agar penerima dapat
menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalam dapur keris tersebut.
Sedangkan empu keris seolah memberikan dorongan moril dan doa agar siapa
pun yang menyimpan hasil karyanya, diberikan petunjuk oleh Tuhan,
sesuai dengan nilai-nilai simbolik dalam keris karyanya tersebut.
Nama Jalak Sangu Tumpeng dapat diartikan Burung Jalak Berbekal Tumpeng.
Tumpeng adalah nasi (dibentuk seperti gunung) dengan segala lauk
pauknya dalam sebuah nampan. Hal tersebut nampaknya aneh dan tak masuk
akal. Bagaimana burung jalak yang kecil dapat membawa bekal tumpeng yang
sedemikian besar dan berat? Supaya tidak kekurangan makan? Padahal
burung jalak tidak doyan nasi tumpeng. Jika keliru menafsirkan, bisa
jadi Jalak Sangu Tumpeng diartikan sebagai symbol keserakahan dan orang
yang memaksakan diri.
Philosofi dalam Burung Jalak dan Nasi Tumpeng
Jalak merupakan species burung yang di jawa terdapat beberapa jenis,
anatar lain: Jalak Kebo (hitam), Jalak Pita (putih), dan alak Suren
(hitam putih). Dari beberapa jenis ini, yang paling menarik tingkah
lakunya adalah jalak suren (Sturnus Contra Jalla).
Di Jawa, sejak dahulu burung ini dikenal sebagai burung peliharaan yang
bisa membantu pemiliknya menjaga rumah. Burung tersebut mempunyai
naluri yang peka (waspada) terhadap kedatangan tamu asing baik siang
maupun malam. Dia akan berbunyi keras dan serak (bukan berkicau) jika
ada orang datang dan belum dikenal seolah mengingatkan (ng-eling-ake) pemilik
rumah. Selain itu, Jalak merupakan burung yang dalam mencari makan
tidak merugikan orang lain. Sampai di sekitar tahun 70-an masih sering
kita lihat burung ini di atas punggung kerbau di sawah. Relasi simbiosis mutualisme dengan
kerbau. Jalak memperoleh makanan dan kerbau jadi sehat. Di sisi lain,
jalak juga dikenal sebagai burung yang setia kepada pasangannya.
Seniman Surakarta, Ki Surono Ronowibakso (Suryanto Sastroatmojo,
2006:110) memberikan pandangannya tentang burung sebagai berikut :
Kukila tumraping tiyang jawi, mujudaken simbul
panglipur, saget andayani renaming penggalih, satemah saget ngicalaken
raos bebeg, sengkeling penggalih. Candra pasemonanipun: pindha keblaking
swiwi kukila, ingkang tansah ngawe-ngawe ngupaya boga, kinarya anyekapi
ing bab kabetahanipun. Dene kukila ingkang sampun pikanthuk ing bab
kabetahanipun, kukila kala wau lajeng wangsul dhumateng tuk sumberipun,
asalusulipun, inggih punika wangsul dhateng susuhipun, ambekta
kabetahaning gesangipun.
(terj bebas: bagi orang Jawa, burung
merupakan symbol pelipur duka, memberikan rasa senang di
hati,menghilangkan rasa dongkol kejengkelan di hati. Sedangkan gambaran
sosoknya, dimana kepakan sayapnya melambai-lambai merupakan usaha dalam
mencari pangan (nafkah), untuk memenuhi kebutuhan. Urung yang telah
mendapatkan pangan, kemudian pulang kembali ke sarangnya (rumah dan
keluarganya).
Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang
ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik yang sifatnya kesedihan maupun gembira.
Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain :
tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong.
Tumpeng sarat dengan symbol mengenai ajaran makna hidup. Tumpeng
robyong disering dipakai sebagai sarana upacara Slametan (Tasyakuran).
Tumpeng Robyong merupakan symbol keselamatan, kesuburan dan
kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran
sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupitumbuh-tumbuhan.
Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau semen, yang berarti
hidup dan tumbuh berkembang. Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan
dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai
arti simbolik, yaitu:
Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang
melambangkan tangan merapatmenyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih
melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging
haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini
juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun
semakin “naik” dan “tinggi”.
Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung
dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental),
merupakan symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati
yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri
dan sabar (nge”reh” rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna
menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh, red) ayam jago,
antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa
tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian
kepada anak istri.
Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan
lele bukan banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di
air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan
symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi
ekonomi yang paling bawah sekalipun.
Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat
digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek
hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan
kerukunan.
Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata
sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong – sehingga
untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal
tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan
(dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi
kesempurnaan. Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”,
yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti,
tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga
melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama,
yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara
lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal
parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung
symbol-simbol antara lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai. Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,taoge/cambah yang berarti tumbuh, kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative, brambang(bawang
merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang
baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Kluwih berarti
linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap berarti
urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.
Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng.
Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan
memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam
selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua
atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng
disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: mangan ora mangan waton kumpul (makan
tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba
kekuarang yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara. Pengertian
sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat
kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap
anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang barada,
meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan
menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.
Ricikan pada Keris Dapur Jalak Sangu Tumpeng
Jalak Sangu Tumpeng adalah keris lurus yang mempunyai makna selalu menempuh “jalan lurus” menuju keutamaan hidup. Jalan lurus yang ditempuh yaitu dengan menjalani perbuatan yang baik (Dadya laku utama),
yang antara lain: tidak sombong, dan tidak mencela orang lain serta
introspeksi terhadap diri sendiri. Apalagi orang yang dianggap cerdik
pandai atau berkeuasa, perlu dihindari menjadi Prawata Bramantara yaitu
orang yang tutur katanya membuat gusar oang lain atau membuat suasana
menjadi semakin keruh. Kata-katanya tidak menentramkan, ibarat gunung
yang tampaknya indah namun menghasilkan hawa panas yang berbahaya. Lebih
dari itu, “laku utama” juga meliputi tindakan selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhandan hubungan kepada keluarga, masyarakat dan lingkungannya (eling lan waspada).
Gandik Polos, merupakan symbol kekuatan, ketabahan
hati, ketekunan dan rajin bekerja. Dalam budaya Jawa ada sesanti yang
mengatakan : sapa sing temen bakal tinemu, sapa sing tatag lan teteg
bakal tutug (siapa yang tekun akan menemukan jalan, siapa yang ulet dan
tabah akan tercapai cita-citanya)
Tikel Alis, merupakan symbol baik-buruk dalam diri
manusia, yang keduanya harus selalu dikendalikan. Pengendalian dua sifat
tersebut akan terpancar pada watak seseorang.
Sogokan angkap (dua) dan Ada-ada, merupakan symbol
dorongan/motivasi untuk selalu mempunyai ide/gagasan/inovasi kreatif
untuk maju. Motivasi yang murni harus mulai dari niat lahir dan batin.
Tingil merupakan symbol bekal pengetahuan dan
ketrampilan yang pinunjul. Dalam berkarya tentunya seseorang harus
berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.
Sraweyan merupakan symbol keluwesan. Dalam lehidupan
hendaknya menjaga keselarasan terhadap sesame, masyarakat dan
lingkungan, dan dapat beradaptasi dengan kebiasaan setempat dan
menghargai pendapat serta sikap orang lain.
Pijetan/blumbangan, merupakan symbol keikhlasan hati
dan kesabaran. Hidup dan bekerja harus dilandasi dengan hati yangsenang,
mencintai akan pekerjaannta dan ikhtiar serta tawakal. Tidak ada yang
disebut takdir sebelum diawali dengan ikhtiar.
Jalak Sangu Tumpeng Merupakan Ajaran Hidup Dalam Mencari Nafkah
Dapur Jalak Sangu Tumpeng secara keseluruhan
sebagaimana ditunjukan dalam simbolisasi Jalak, Tumpeng, bentuk keris
lurus dan ricikan bilah merupakan ajaran hidup dalam mencari nafkah. Jalak merupakan symbol atau gambaran seseorang yang berkewajiban mencari nafkah –
dan tentunya untuk keperluan tersebut dia perlu mempersiapkan diri baik
mental maupun spiritual. Sesorang dalam mencari nafkah dan menjalani
hidup diharapkan lebih mengutamakan perbuatan yang baik (dadya laku utama) selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhan dan hubungan dengan keluarga, masyarakat serta lingungannya (eling lan waspada).
Dalam mencari nafkah hendaknya berlaku jujur dan tidak merugikan orang
lain, Mencari nafkah memang tidak mudah, namun jika diberi kemudahan
hendaknya selalu juga waspada. Sebab uang sebanyak apapun jika tidak
halal sumbernya jangan diambil. Lebih baik uang sedikit namun halal dan
sah. Sebagaimana diajarkan dalam tembang dandanggula serat sana sunu
(Yasadipura II):
“..yang suksma, angupaya sandang pangan
teka gampil, yen gampang den waspada. Sangkaning arta yen tanprayogi,
haywa arsa sanajan akathah, yen during sah hywa pinet, sathitik yen
panuju, den pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah tentrem
ing kukum….”
Hal-hal yang tersirat dalam dapur Jalak
Sangu Tumpeng merupakan pandangan dan pegangan hidup untuk mencapai
sukses dalam bekerja dan berusaha. Sehingga, nilai-nilai yang terkandung
dalam dapur ini, menjadikannya sebagai symbol pusaka dalam mencari
nafkah. Sesorang yang menyimpan keris dapur ini, seolah menyimpan
nilai-nilai ajaran yang dapat digunakan sebagai pandangan hidup.