Alun-Alun Daha Dahulu pernah jadi
Kantor Bupati Kediri, disini banyak ditemukan Benda Purbakala Patung
Patung Dewa Leluhur Kerajaan Daha/Kadiri/Jenggala, Benda Purbakala
dipindah ke Musium Gunung Kelotok 15 km dari Alun Alun Doho.
Ada Sumur Peninggalan Majapahit yang
cukup angker ditempat ini, Hari tertentu Ada Dewi Berpakaian Putih
keluar dari Sumur, Tak jauh dari Sumur berdiri megah Hotel Bismo, di
Alun Alun berdiri Patung Pahlawan Kemerdekaan Bismo. Seberang hotel ada
Mal/Pusat Perbelanjaan Baru saja diresmikan, jadi Alun Alun sudah bukan
Lapangan tapi seperti Taman saja,dimana Malam hari tempat berjualan
serba ada dari sate Bekicot sampai Kambing. Barang pun serba ada dari
jepit rambut sampai vidio game.
Tapi Kesakralan masih menghantui tempat
ini, banyak para Spiritualis Meditasi, Semedi ditempat ini mencari
Wangsit. Disinilah tempat tinggal Brahmaraja XI bila berada di Kediri,
yaitu di Hotel Bismo dimana Beliau masih dipanggil Sang Prabu. Hotel
Bismo milik cucu Tan Koen Swie Pahlawan Budaya dan bukunya diakui
sebagai ‘SEJARAH KOTA KADIRI” yang diakui baik masyarakat maupun
Pemerintah Kota Kediri Jawa Timur, Buku itu dilarang dibaca diera Orde
Baru 1966-2000′. Yang berisi Ramalan Sabdopalon. Pada 2003 disinilah
dipusatkan Ngeruwat Kota Kediri oleh Hyang Bhatoro Agung Suryo
Wilatikto, acara pertama kalinya sejak 500 tahun Keruntuhan Majapahit
[berita terdahulu] di Kadiri banyak Kerabat Hyang Suryo, bahkan
Leluhurnya disarekan di Gunung Kelotok.
Peninggalan Sejarah Kota Kadiri sangat
sesuai dengan Buku Tan Koen Swie karena bisa dilihat dengan mata
telanjang bukan gaib, contoh Patung Totok Kerot/Durga yang di Kepruk
Sunan Bonang kini berdiri Tegak dengan bahu kanan sempal/putus kena
hantaman/Kepruk’an Sunan Bonang sang Wali yang anti
Berhala/Musrik/Tohut/Patung. Desa Gedah yang dikutuk pun masih ada,
Bahkan Pada Hari jadi Kota Kadiri 23-3-2002 ketika Brahmaraja XI lagi di
Hotel Bismo ‘Ono Suworo Tanpo Rupo” suara tanpa ada Orang berbunyi
“Nyang ngo Selomangleng” ber ulang-ulang.
Akhirnya Brahmaraja XI yang biasa
dipanggil Eyang Suryo pergi mengikuti suara tadi ke Selomangleng yaitu
Guwa Pertapaan Dewi Kilisuci, ternyata sampai disana bertemu seorang
Pertapa. ” lha, Kowe wis tak enteni ngger, ontong kupingmu apik iso
nrimo wisik” Kamu sudah saya tunggu nak, untung telingamu bagus bisa
mendengar suara niskala/gaib.
Demikian Sabda Sang Pertapa, Singkat
Cerita Eyang Suryo dipertemukan Prabu Airlangga, Mpu Bharadah, Prabu
Joyoboyo, Dewi Kilisuci, Dewi Sekartaji, Panji Asmorobangun, Buto
Lucoyo, Para sesari Pepunden sekeliling Gua Selomangleng Gunung Kelotok
Kediri [Salinan tertulis, saat itu Buku Tan Koen Swie /Sejarah Kadiri
belum diterbitkan] setelah rapat dengan Para Leluhur ini lalu Sang
Pertapa memberikan Simbul Tanah Jawa, sepasang Keris Kembar Luk 13 [ada
di Puri Gading] setelah pertemuan aneh ini Sang Pertapa berkata “Ngger,
Duwe Deluwang karo potelot te? Aku arep nulis kanggo bukti kanggo Wong
sing ora percoyo Gaib” Nak, Punya kertas sama alat tulis?, Saya mau
nulis agar dapat dipakai bukti bagi orang yang tidak percaya Niskala,
Eyang Suryo mengambil kertas di mobil PU AG 7000 NZ kebetulan ada kertas
ber Kop Hotel SATELIT [Hyang Suryo Tinggal di Hotel Satelit bila di
Surabaya] dan Balpoin, lalu diserahkan kepada Sang Pertapa,
Lalu pertapa ini menuliskan tentang
pertemuan dan siapa yang hadir, waktu itu memang sangat aneh tapi bagi
Hyang Suryo biasa saja karena sudah sering bertemu alam lain cuman tidak
berani cerita nanti dianggap bohong, kebetulan peristiwa ini Sang
Pertapa mengerti membuat tulisan, Tulisannya Ejaan Zaman Belanda U pakai
OE [tulisan Tan Koen Swie], Sang Pertapa bilang ini untuk bukti sudah
bertemu dirinya. Hyang Suryo mancing bertanya ” Mbah Kowe iki sopo to?”
lalu dijawab “Lhah kowe Lali yo biyen kan bareng waktu jenengmu Sokro,
Lha aku Topo terus tetep ngene lha kowe kan nitis bolak balik” hyang
Suryo ya pura-pura ngerti, “oo, Yo Mbah aku rodok lali, mosok Sokro, lha
Sokro iku sopo Mbah” lagi coba mancing karena Orang Dahulu tidak
sekolah/kuliah dan jujur dijawab ” iyo aku maeng kan jambal, yo wis
sepurane Bhatoro Indro, pangkatmu luwih duwur” ini sedikit dialog yang
diungkap ternyata belakangan ada yang bilang Sakra/Indra. Beliau Sang
Pertapa memang Jujur/lugu karena jaman dulu tidak ada
sekolah/Universitas, dan Karena Kemanungsan jadi mudah dipancing, kalau
alam Roh sulit dipancing, Pertapa ini punya badan kasar, tapi bisa
kumunikasi alam lain,jadi badan kasar panca indranya mudah diajak
kumunikasi jujur. Jadi peristiwa aneh ini terjadi 23-3-2002 ternyata
setahun kemudian 27-3-2003 Hyang Suryo meruwat Kota Kadiri, inipun baru
diketahui setelah ditulisnya peristiwa aneh itu hari ini 19-9-2009.
Kejadian Pertemuan justru Pura
Majapahit Trowulan Lagi gawat di serbu dan diancam Bom Karyono dan sudah
di tutup di larang kegiatan Hingga Hyang Suryo bisa keluyuran Sowan
Leluhur. Karena di Trowulan ditutup itulah Hyang Suryo sering di Kediri
atau di Surabaya kemudian Bali. Tulisan Sang Pertapa kini tertempel di
Pusat Informasi Pura Ibu Majapahit sebagai bukti ilmiah, Ditambahkan
15-3 2002 Hyang Suryo dilantik sebagai Ketua IX Budaya Sepiritua Asli
Nusantara untuk mengurusi Keluarga Mojopait Oleh Prof. DR. RM
Wisnuwardhana Suryadiningrat di pendopo Agung Manunggale Kawula Lan
Gusti Keraton Suryadiningrat Jogjakarta, kemudian diteruskan Wayangan di
Alun Alun Suryodiningratan dengan Lakon ‘Turunnya Wahyu Mahkuto Ramo”,
sepulang dari Jogja masih mampir di Solo Gelar Budaya 2002 di
Mangkunegaran, kemudian ke Kadiri bertemu pertapa 23-3-2003. dan
27-3-2003 juga tidak sengaja diminta Meruwat kota Kediri jawa Timur.
Selanjutnya Gelar “Budaya Pemersatu
Bangsa” di Bali hingga terwujut Pura Ibu Majapahit Jimbaran untuk
Melinggihkan Leluhur agar bisa tetap di Odali, dan Odalan Baru
dilaksanakan 9-9-’09 yang lalu dengan sukses, dan masih banyak informasi
aneh tapi ditunjang bukti ilmiah, seperti Mahkota Mjapahit, nantikan
informasi selanjutnya.***Lebih jauh dijelaskan bahwa Buku Tan Koen Swie /
Sejarah Kota Kadiri baru didapat Awal 2009 dimana saat ada Pernikahan
salah satu Cicit Tan Koen Swie Undangan Pernikahan dilampiri Sejarah
Kadiri karangan Tan Koen Swie buku ini dikirim Pura Ibu awal 2009
setelah di Sah kan menjadi Buku Sejarah Kota Kediri, Juga Mangku GRP.
Nokoprawiro membawa Copy Negarakertagama awal 2009 setelah Hyang Suryo
meresmikan Candi Gajahmada di Kertosono yang dipugar Yayasan
Negarakertagama, yang disebutkan oleh Ketua Yayasan Bpk. Harmoko
penterjemahan belum selesai tuntas, sebagian Lontar ada yang terbakar.
Ternyata setelah di cocok kan ada kemiripan Tokoh yang disebut dalam
buku Tan Koen Swie tentang Buta Locaya.
Soal nama Sokro ini pernah pada 1968 di
Trowulan ketika Melepas Djaini Putra Bpk. Saguh Jurukunci Makam Pendopo
Agung, bertemu seorang Pertapa dari Gunung Semeru yaitu Mbah Tjokro
juga memangil Eyang Suryo Dik Sokro, ada 2X Orang memanggil Eyang Suryo
Sokro/Sakra. Bakan sebuah Foto Kuna 1968 Eyang Suryo pakai Blangkon
tercantum nama SOKRO menghormati Mbah/Rama/Eyang Tjokro/Cokro yang
memanggil Sokro untuk Eyang Suryo.b Jadi selama ini yang menyebut Eyang
Suryo dengan panggilan Sokro 2 Orang yaitu Eyang Semeru dan Eyang
Kadiri.