Menurut ceritera rakyat nama Bagelen itu sudah ada sejak jaman dahulu, yaitu negeri Medangkamulan atau Medang Gele atau Pagelen yang memerintah negeri itu ialah Sri Prabu Kandiawan yang berputera lima orang yang masing-masing memerintah Negara Bagian.
Putra sulung bernama Sri Panuwun, ahli dalam pengairan, pertanian dan pemerintahan dan memerintah Negara bagian Medang Gele, yang akhirnya bernama Pagelen.
Putra
yang kedua bernama Si Sendang Garbo, ahli perdagangan dan memerintah
didaerah Jepara. Putra yang ketiga berkedudukan di Prambanan bernama
Karungkala. Yang keempat bernama Sri Petung Laras atau tunggul Ametung
memerintah di Kediri. Dan yang bungsu bernama Sri Djetayu, memerintah di
Kahuripan. Kerajaan Medangkamulan adalah negeri
yang aman, tentram dan makmur. Karena rajanya berlaku adil dan jujur.
Sri Prabu Kadiawan meninggal dalam tahun yang ditandai dengan
suryasengkala “RUPA TRI MUKSENG LEBU“ yang berarti kurang lebih 1031 yang kemudian yang menggantikan ialah putranya yang sulung, Sri Panuwun.
Prabu
Panuwun mempunyai dua orang anak, tetapi semuanya cacat. Maka sang
Prabu bersedih yang selanjutnya bersemedi untuk mohon petunjuk Dewata.
Akhirnya diperoleh suatu petunjuk gaib, bahwa ia harus pergi kesuatu sendang di Somolangu. Di daerah tersebut Sang
Prabu Panuwun memperistri anak perempuan Kyai Somolangu. Dari
perkawinannya itu kemudian dianugrahi seorang anak perempuan yang diberi
nama “Raden Rara Wetan” Yang kelak terkenal dengan nama “ NYAI BAGELEN “ dan menjadi pewaris daerah Bagelen.
Setelah dewasa Rara Wetan menjadi isteri Pangeran Awu Awu Langit yang berkedudukan di daerah Ngombol.
Karena
Sri Panuwun berpindah kedudukan di Hargopura (Hargorojo), maka Pangeran
Awu Awu Langit menggantikan kedudukannya di Bagelen .
Pengairan di daerah tersebut maju sehingga pertanian-pun maju dengan pesat. Hasil pertanian yang utama ialah padi ketan wulung dan kedele. Dan Nyai Bagelen bersama suaminya disamping sebagai petani maju juga beraktifitas sebagai penenun.
Perkawinannya dengan Pangeran Awu Awu Langit Nyai Bagelen dikaruniai tiga
orang anak. Yang sulung bernama Raden Bagus Gento, dan yang kedua dan
ketiga masing-masing perempuan yang bernama Raden Rara Taker dan Raden
Rara Pitrah.
Pada
suatu hari Selasa Wage, ketika Nyai Bagelen sedang menenun dan
anak-anaknya asyik bermain-main tidak jauh dari ia bekerja , tiba-tiba
Nyi Bagelen alangkah terkejut karena bukan putranya yang sedang menyusu, melainkan seekor anak
lembu. Kemudian dicarilah kedua anak perempuannya dan ditanyakan kepada
suaminya yang sedang asyik memilihi bibit ketan wulung. Karena jawaban
dari suaminya kurang mengenakkan, maka dengan alat tenunnya didorongnya
lumbung padi dan kedele sehingga isinya berhamburan. Lumbung padi itu
terlempar jauh dan tersangkut di pohon beringin di desa Krendetan dan
yang sebuah lagi jatuh di desa Penatak (Somorejo).
Padi dan kedele berhamburan jatuh di desa Ketesan dan Wingko-tinumpuk. Namun bukan main terkejutnya Nyai Bagelen ketika dilihat kedua anak perempuannya terbaring pada bekas lumbung dalam keadaan telah meninggal.
Terjadilah
pertengkaran antar suami istri. Dan suaminya Pangeran Awu Awu langit
memutuskan pulang ke daerah asalnya dan kemudian meninggal di desa
Awu-Awu. Ketika mendengar berita suaminya meninggal, maka Nyai Bagelen
berpesan kepada anaknya sulung Raden Bagus Gento; semua anak cucu serta
keturunanku dilarang atau berpantang untuk berpergian atau jual beli ,
mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena hari pasaran itu saat
jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Kecuali itu juga bagi
orang-orang asli Bagelen berpantang untuk menanam kedele, memelihara
lembu, memakai pakaian yang menyerupai pakaian yang dipakai Nyai Bagelen
waktu datang bulan yaitu : kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben
bangau tulis.
Setelah menyampaikan pesan itu , Nyai Bagelen masuk ke kamarnya dan kemudian menghilang, tanpa meninggalkan bekas atau murca
Dan selanjutnya Raden Bagus Gento menggantikan kedudukannya memerintah daerah Bagelen.
Raden bagus Gento mempunyai anak yang bernama Kyai Rodjo Pandito, yang setelah meninggal dimakamkan di desa Margorejo. Kyai Rodjo Pandito mempunyai putra yang bernama Dewi Rengganis dan makamnya di desa Semono.
Komplek petilasan
Nyai Bagelen terdapat sejumlah makam kuno dan peninggalan sejarah
Buddha yang berupa stupa-stupa berjumlah sembilan buah dengan
masing-masing ukuran stupa yang berbeda dan dinyatakan sebagai
peninggalan sejarah purbakala yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.