Menu utamanya adalah Asem2 Ikan Sembilang, dan Asem2 Sop Iga. Ada juga rawon, dan makanan lainnya. Saya suka Asem2 Ikan Sembilang-nya. Anda harus mampir di warung ini untuk mencobanya masakannya. Letaknya ada di sebelah kanan jalan.
Selesai makan, mobil meluncur melewati Jalan Raya Bungah, belok kiri ke Jalan Raya Golokan, lanjut ke Jalan Raya Daendels, dan setelah melaju beberapa lama kami pun belok kiri masuk Jalan Siwalan – Surowiti, pada GPS: -6.92912,112.46937.
Jalanan sempit, hanya cukup untuk satu mobil, melewati hutan jati muda, kebun jagung dan tanaman kering lainnya, serta perumahan penduduk. Kami belok ke kanan setelah sekitar 2 km di jalan sempit ini. Setelah meluncur sejauh 600 m, kami berhenti tepat di tanjakan di kaki bukit pada GPS -6.93495, 112.45139. Perjalanan mendaki bukit pun dimulai.
Petilasan Sunan Kalijaga di puncak Bukit Surowiti dicapai dengan melewati beberapa kelompok anak tangga yang jumlahnya ratusan, terpisah-pisah oleh rumah penduduk dan tanah-tanah perbukitan. Entah bagaimana caranya, motor-motor seperti ini masih bisa naik sampai ke puncak bukit.
Lokasi Petilasan Sunan Kalijaga memang cukup jauh dan tanjakannya lumayan berat, sehingga ada beberapa titik perhentian seperti ditunjukkan pada papan di atas.
Sayang tidak ada gazebo sebagai tempat untuk beristirahat. Selain Petilasan Sunan Kalijaga, di atas Bukit Surowoti juga terdapat beberapa makam yang dikeramatkan, serta Gua Langsih, yaitu tempat tinggal Brandal Lokajaya, julukan Raden Sahid sebelum mendapat pencerahan dan menjadi Sunan Kalijaga.
Petilasan Sunan Kalijaga memiliki satu tempat pemberhentian terakhir yang disebut Laketeng, tepat sebelum masuk ke tanjakan yang paling tajam dan tinggi.
Beberapa orang tua tampak tengah menuruni tanjakan terakhir itu. Melihat orang-orang tua itu turun dari atas bukit, semangat pun menyala kembali untuk tetap meneruskan perjalanan.
Petilasan Sunan Kalijaga rupanya berada di ujung puncak Bukit Surowiti, sehingga setelah sampai ke atas kami masih berjalan beberapa puluh meter lagi, melewati rumah-rumah penduduk dan warung-warung penjual makanan minuman, sebelum akhirnya melihat pintu Petilasan.
Petilasan Sunan Kalijaga akhirnya terlihat di kejauhan, dengan pintu masuk dicat warna hijau. Sebuah pohon sangat besar dan tinggi terlihat berada tidak jauh dari pintu Petilasan. Ada pula papan petunjuk ke arah Makam Empu Supo di sebelah kiri.
Petilasan Sunan Kalijaga dengan pintu masuk yang terbuka. Kuncen Petilasan rupanya tinggal di sekitar tanjakan yang pertama, dan sedang tidak berada di Petilasan saat itu. Papan penunjuk ke Goa Langsih tampak dipasang di samping pintu masuk Petilasan Sunan Kalijaga.
Cungkup Makam Mbah Sloko dan cungkup Makam Mbah Singo Wongso yang berada di dalam kompleks Petilasan Sunan Kalijaga. Barangkali mereka adalah santri-santri Sunan Kalijaga.
Petilasan Sunan Kalijaga dengan atap berbentuk limasan yang mengerucut, ornamen bulatan logam di puncaknya, atap susunan kayu yang menyerupai sisik, dan kaligrafi berbunyi “Allah” pada tembok di atas pintu.
Sunan Kalijaga adalah keturunan Aryo Adikoro, yang lebih dikenal sebagai Ronggo Lawe, penguasa Tuban di masa awal Kerajaan Majapahit. Tuban ketika itu merupakan pelabuhan terbesar di Nusantara. Sunan Kalijaga lahir dengan nama Raden Mas Sahid, dari ayah bernama Raden Sahur (Tumenggung Wilwatikta, Adipati Tuban) dan ibu bernama Dewi Sukati, salah seorang puteri raja Majapahit. Raden Sahur adalah cucu buyut Ronggo Lawe.
Nama Kalijaga berasal dari pertemuannya dengan Sunan Bonang, saat ia menjadi begal dengan julukan Brandal Lokajaya karena kekecewaannya pada ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat ketika itu. Setelah ditundukkan Sunan Bonang, selama setahun Raden Mas Sahid diminta menjaga tongkat yang ditancapkannya di tepi kali dan ditugaskan memperdalam ilmu agama dari kitab yang ditinggalkannya. Namun konon baru tiga tahun kemudian Sunan Bonang kembali untuk menjumpai Raden Mas Sahid.
Karena kecerdasannya, kedalaman dan ketinggian ilmunya, kewaskitaannya, serta pendekatan yang dilakukannya dalam berdakwah dan berpolitik, Sunan Kalijaga termasuk salah satu dari Wali Songo yang paling disegani, dan sering disebut Wali Kutub atau leluhuring Wali
Petilasan Sunan Kalijaga berada pada ketinggian 260 mdpl, dengan pemandangan yang luas ke wilayah di sekitarnya. Perkampungan yang ada di puncak bukit Surowiti ini dihuni oleh sekitar 100 keluarga.
Sunan Kalijaga lebih suka berkelana dalam melakukan dakwah, sehingga tidak heran jika petilasannya bisa ditemukan di beberapa tempat, seperti yang ada di Situs Taman Kera dan Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon.
Mungkin selama dalam pengembaraannya itu ia menciptakan tembang Ilir-ilir dan Dandhang Gulo, serta menulis Kitab Serat Dewa Ruci dan Kitab Suluk Linglung. Gamelan Sekaten, yaitu Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, adalah juga peninggalan Sunan Kalijaga.
Petilasan Sunan Kalijaga juga dikelilingi oleh makam-makam lain. Namun sepertinya tidak ada makam baru di sana.
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga membuat perumpamaan yang mudah dipahami masyarakat. Dikatakannya bahwa setelah petani selesai membajak sawah, tetap saja ada bagian tanah di sudut sawah yang belum terbajak, yang diartikan bahwa selalu ada kekurangan meskipun cita-cita telah tercapai.
Sunan Kalijaga mengajarkan bahwa Pacul terdiri dari tiga bagian. Pertama Pacul, Ngipatake Kang Muncul: dalam mengejar cita-cita ada banyak godaan yang harus dikesampingkan. Kedua Bawak, Obahing Awak: cita-cita dicapai dengan berupaya dan melakukan kerja keras secara fisik. Ketiga Doran, Dedongo ing Pangeran, dalam mengejar cita-cita jangan lupa untuk selalu memanjatkan do’a kepada Pangeran, Tuhan yang menguasai alam fana dan baka, yaitu Allah.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada 1430-an, dan hidup dari jaman Majapahit sampai awal berdirinya Kerajaan Mataram, sehingga usianya diperkirakan mencapai 150 tahun. Makam Sunan Kalijaga berada di Kadilangu, Demak.
Petilasan Sunan Kalijaga pintunya terkunci saat itu, dan kabarnya hanya dibuka pada hari-hari tertentu. Rumah kuncen juga cukup jauh, dan tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi, sehingga saya tidak bisa masuk untuk melihat isi ruangan.
Haul akbar Sunan Kalijaga dilakukan setiap tahun oleh penduduk Surowiti, yaitu pada bulan Dzulhijjah, di Hari Kamis minggu terakhir.
Petilasan Sunan Kalijaga
Puncak Bukit SurowitiDesa Surowiti, Kecamatan Panceng
Gresik
GPS: -6.93148, 112.45199