Hanya Kalah oleh Umurnya Sendiri
Misteri Ilmu Lembu Petheng Pak Harto
Pak Harto disegani lawan-lawan politiknya termasuk Bung Karno karena memiliki ilmu Lembu Petheng.
Suharto adalah anak petani yang secara politik bisa mengalahkan Sudarsono, DN Aidit, Sukarno, Hatta, Nasution dan seluruh orang besar di negeri
ini yang mustahil dikalahkan. Sebab, dia merupakan sosok Lembu Petheng.
Secara politik, Suharto hanya dikalahkan oleh umurnya sendiri.
Saat itu Minggu Wage, 27 Januari 2008. Jarum jam menunjuk ke angka
15.30. Bersamaan dengan terdengarnya suara Azan Asar sayup-sayup dari
kejauhan. Suasana Astana Giribangun saat itu sangat tidauh, tidak sinar
matahari. Uniknya seperti tidak ada awan, juga tiada tanda gerimis bakal jatuh.
Sejumlah orang berkumpul, mengelilingi sebidang petak tanah makam
yang siap digali. Mereka melakukan upacara Bedah Bumi, tujuannya agar penggalian berjalan lancar dan selamat. Yang memimpin Begug Purnomosidi.
Lalu, linggis dihujamkan ke tanah. Tak ada apapun yang terjadi. Begitu pula yang ke dua. Namun, kejadian yang membuat merinding bulu kuduk terjadi saat linggis mengoyak tanah untuk kali ketiganya.
“Tiba-tiba, duar! Terdengar suara ledakan yang sangat keras bergema di atas
kepala kami,” kata Sukirno, juru kunci makam keluarga Soeharto di
Astana Giribangun, menceritakan pengalamannya menggali makam Soeharto.
Para penggali makam dan orang-orang di sekitarnya sontak kaget.
Mereka berpandangan. Bingung. Mencoba mereka-reka dari mana asal suara
menggelegar itu.
“Bukan bunyi petir, lebih mirip suara bom besar meledak di atas cungkup Astana Giribangun,” kata Sukirno.
Namun, anehnya, tak ada yang porak poranda, tak ada yang benda
yang bergeser karena suara ledakan itu. Terbesit di pikiran, mungkin itu
suara gaib. Ada juga yang berpikiran itu adalah ilmu Lembu Petheng
Suharto.
Semua yang ada di tempat itu terdiam, terpaku. Lalu, suara Begug
memecah keheningan. “Bumi mengisyaratkan penerimaan terhadap jenazah
beliau,” tutur Sukirno.
Memang, jika Negara ini menjadi negara besar, Indonesia
harus memiliki pemimpin yang memiliki ilmu Lembu Petheng. Lembu Petheng
sebenarnya bukan ilmu, tetapi sekedar perumpamaan terhadap sosok
pemimpin yang tak jelas siapa bapak kandungnya. Seperti Ken Arok dan Pak
Harto yang tak jelas siapa bapaknya.
Meski demikian, orang-orang yang masuk dalam kategori Lembu Petheng,
biasanya memiliki kekuatan yang tiada batas. Lembu Petheng kemudian
dianalogikan sebagaian orang sebagai sebuah ilmu atau kekuatan. Sebab,
mereka-mereka yang masuk golongan Lembu Petheng–seperti Ken Arok dan Pak
Harto, biasanya akan memiliki kekuatan (ilmu) yang besar. Sebab,
orang-orang Lembu Petheng tidak punya rasa minder terhadap masa lalu. Itulah yang dikatakan budayawan Sudjiwo Tedjo.
Sejarah Jawa adalah sejarah suksesi, sejarah kudeta dan sejarah
berdarah-darah dalam merebut tahta kekuasaan. Banyak tokoh yang kemudian
muncul tiba-tiba dalam panggung sejarah, tanpa masa lalu, dan tanpa
beban silsilah. Ia kemudian mengklaim sebagai anak para Dewa, anak Para
Raja, dan dengan begitu mereka menggenggam mitos.
Suharto adalah manusia paling kontroversial di Indonesia. Nilai
kontroversinya jauh melebihi Sukarno. Bila Bung Karno dikenal dunia
karena ulahnya yang begitu mencengangkan dan sering bikin kejutan, maka
Suharto lebih pada nilai misteriusnya. Misteri Suharto adalah kekuasaan
yang begitu besar, dan itu dibangun dengan cara yang mungkin orang akan
juga tercengang yaitu sikap: Diam. Pendiam bagi Suharto bukan hanya
watak tapi merupakan latihan menahan diri yang ekstrem.
Yah, dengan ilmu Lembu Petheng itulah, Suharto bisa memecahkan mitos
buku suci Raja-raja Jawa. Ini juga yang tampaknya dipegang dalam
konstelasi perpolitik nasional kita yang belum lepas dari kesejarahan
mitos atas silsilah di masa lalu.
Naiknya Megawati dan SBY juga tak lepas dari mitos atas kerja
orangtua mereka dimasa lalu. Sehingga silsilah menjadi begitu penting
dalam kerja politik kita, penghancuran mitos ini belum reda sampai
sekarang.
Mitologi silsilah inilah yang kemudian ditembak oleh Sudjiwo Tedjo
dalam melihat kasus Suharto. Menurut Sudjiwo Tedjo, “Bagaimana mungkin
seorang anak petani biasa membuat Sri Sultan Hamengkubuwono IX tertunduk
dan menurut pada Pak Harto, bagaimana mungkin orang yang begitu Prabawa
dan penuh kharisma seperti Bung Karno seperti gemetar ketakutan melihat
Suharto, bahkan di akhir tahun 1966 dengan nada galau Sukarno berteriak
tiga kali menyebut Suharto sebagai keadaan bahwa tak boleh ada yang
merebut kursi Presiden,” katanya
.
Yah, pada saat itu, Bung Karno menyebut nama Suharto tiga kali.
“Tidak Juga engkau Suharto, Tidak Juga engkau Suharto, Tidak Juga engkau
Suharto….” kata Bung Karno sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah
barisan para Jenderalnya. Ada apa dengan kekuatan Suharto?
Jelas Sukarno tidak akan takut dengan kekuatan militer Amerika
Serikat, ia sudah terbiasa menghadapi teater perang besar. Bahkan di
hadapan Dadong (nama panggilan Presiden Filipina-Macapagal), Sukarno
menyatakan siap menghadapi perang sebesar apapun, dan itu memang sudah
dilakukan Sukarno ketika ia meletuskan kata-kata Dwikora dan mengancam
perang dengan Malaysia, sebuah pidato yang mirip pidato Franklin Delano
Roosevelt.
Koran-koran besar Amerika menjuluki Sukarno sebagai ‘Tiran’ dengan
kekuatan tanpa tanding yang mengancam dunia bebas. Tapi di sisi lain di
negara-negara bekas jajahan dan negara tertindas, Sukarno dijuluki
“Hadiah Tuhan untuk Kebebasan Bagi mereka Yang Tertindas”. Di sini
Sukarno menunjukkan bukan saja orang nomor satu, tapi juga tokoh dunia.
Sementara Jenderal AH Nasution sendiri saat menunggui anaknya di RS
Gatot Subroto yang sekarat tertembak pasukan penculik pimpinan Letkol
Untung, menampik saran Adam Malik.
Saat itu Adam Malik berkata pada Nasution yang juga merupakan
sepupunya sendiri “Nas, kau ambil itu kekuasaan Angkatan Darat, sekarang
juga kau ke Kostrad, kau pegang sendiri militer”.
Tapi Nasution menolak dengan alasan bahwa “bagaimana mungkin aku meninggalkan anakku yang sekarat untuk urusan pekerjaan”.
Di sinilah kemudian Adam Malik kecewa, dan menganggap Nasution lemah.
Tapi mungkin Adam Malik lupa, sepanjang sejarah karir militer Nasution,
ia tak berani berhadapan head to head dengan Sukarno. Seperti yang
diucapkan Nasution sendiri di Amerika Serikat dalam wawancara dengan
jurnalis Amerika Serikat di awal tahun 1960-an.
“Saya tak mungkin berhadapan dengan Sukarno, dialah yang menyadarkan
saya tentang arti kemerdekaan, sebelum saya tahu apa itu merdeka di masa
saya sekolah dulu,” katanya.
Ini artinya, kekuatan Sukarno memang secara personal luar biasa, dan
anehnya kekuatan Sukarno bisa lebur ditangan Jenderal yang sama sekali
tak dikenal sebelumnya. Nama Jenderal itu pernah disebut-sebut di
koran-koran sepanjang konflik politik yang panas pada paruh pertama
1960-an.
Namanya hanya muncul sekilas saat pemakaman Jenderal Gatot Subroto
dan saat ia diangkat jadi Panglima Mandala dalam Perang Perebutan Irian
Barat. Itupun kemudian namanya tenggelam oleh Subandrio, Menteri Luar
Negeri yang memiliki kelihaian diplomasi dengan mencari celah dukungan
Inggris dan Amerika Serikat dalam menendang Belanda keluar dari Irian
Barat. Yah, dialah Suharto.
Tidak Jelas Asal-usulnya
Saat menjabat presiden, Pak Harto mengaku sebagai anak petani.
Suharto lahir dari situasi yang tak jelas. Pernyataan ini bukan hanya
lahir dari majalah-majalah gosip yang banyak bermunculan di tahun
1970-an soal asal usul Suharto, tetapi juga dari buku-buku yang berbobot
ilmiah tinggi seperti buku Robert Edward Elson, seorang Profesor dari
University of Queensland, Australia yang secara serius meriset Suharto.
Disebutkan, bahwa asal usul Suharto menjadi bagian paling rumit untuk
mendefinisikan kepribadian dan posisi psikologis Suharto di masa
mendatang. Elson Elson menyajikan riset atas konfigurasi keluarga
Suharto yang rumit, mengenaskan serta tidak jelasnya siapa ayah kandung
Suharto. Ayah kandung Suharto yang tak jelas ini kemudian berpengaruh
atas kepribadian Suharto yang pendiam, menganalisa masalah,
mempertimbangkan keadaan serta hati-hati dan kepribadian ini menjadi
modal dalam keberhasilan hidupnya. Bahkan ketika memimpin negeri ini,
Suharto tidak memiliki rasa minder terhadap masa lalu.
Suharto lahir 8 Juni 1921, angka ini juga masih diperdebatkan banyak
orang. Namun Suharto sendiri meredakan perdebatan ini dan ia secara
gamblang menyatakan tanggal lahirnya adalah 8 Juli 1921.
Suharto dilahirkan dari seorang ibu yang galau, yang stress dan
sedang prihatin. Ada juga yang menyebutkan bahwa asal usul Suharto,
yakni dua tahun setelah kelahirannya orangtua mereka bercerai, tapi
Elson lebih ganas lagi menyebutkan waktunya: Orangtua Suharto bercerai
empat minggu setelah kelahiran Suharto.
Sukirah–ibu Suharto–mengalami kondisi stress. Ia dikabarkan hilang
dan ternyata sedang ‘ngebleng’ puasa tanpa makan dan minum. Ia merasa
membawa beban hidup yang amat berat. Bagi kalangan Jawa yang mengerti
ilmu kebatinan, jelas Sukirah mengalami beban psikologi luar biasa
karena ia mengandung ‘Seorang Raja di Masa Depan’. Penduduk kampung
mencari-cari Sukirah, yang kemudian ditemukan dalam keadaan hampir mati
karena kurang makan dan minum.
Dari situasi keprihatinan yang tinggi itulah Suharto lahir. Di usia
empat tahun Suharto sudah diserahkan ke kakak ibunya, pada keluarga
Kromodiryo. Pada usia yang masih amat muda sekitar lima tahun dan ini
mengherankan bagi anak desa seumurnya, Suharto sudah disekolahkan.
Suharto yang berada di dusun amat terpencil bisa bersekolah bagus ini
juga menjelaskan siapa ayah Suharto sesungguhnya. Suharto sendiri tak
mengalami ikatan emosional yang tinggi kepada orang yang dianggap
ayahnya yaitu Kertosudiro. Tapi kemungkinan Suharto sudah mengerti bahwa
Kertosudiro bukan ayah kandungnya.
“Di masa lalu ada teman seingat saya bernama si Kromo, yang
mengata-ngatai saya sebagai ‘Den Mas Tahi Mabul’. Dan ini penghinaan
bagi Suharto kecil, lalu Suharto menonjok anak itu,” kata Suharto.
Dan itulah pengalaman satu-satunya Suharto berkelahi. Ini artinya
berbeda dengan pengalaman berkelahi pertama Sukarno yang mempersoalkan
dia dilarang main bola oleh Sinyo Belanda karena ia seorang Pribumi.
Tapi Suharto berkelahi karena persoalan tak jelas asal usulnya. Dari
Sukirah sendiri Suharto memang ada keturunan bangsawan Yogyakarta, kakek
buyut Suharto: Notosudiro, memiliki isteri yang merupakan anak
perempuan dari Hamengkubuwono V.
Terlepas dari situasi sulit siapa ayah kandungnya, perpecahan
keluarga dan segala macam konflik psikologis dalam lingkungannya,
Suharto tumbuh secara baik. Ia adalah pemuda yang tampan, berwajah
ningrat dan sangat halus perangainya. Beberapa kali Suharto menjadi
bahan rebutan antara Sukirah dan Kertosudiro, sehingga Suharto harus
tabah dalam menjalani kehidupan.
Suharto sendiri mengakui saat paling bahagia adalah ketika ia
‘ngenger’ (menumpang) pada keluarga Prawirohardjo, yang salah satu
anaknya adalah Sulardi di Wuryantoro. Lewat Sulardi inilah Suharto
berkenalan dengan Hartinah, puteri wedana di Wonogiri, yang juga
merupakan kawan sekelas Sulardi, kelak Hartinah menjadi isteri Suharto.
Suharto hidup prihatin. Ia senang sekali berpuasa. “Saya sudah
mengalami banyak laku, banyak tindakan pertapaan di diri saya,
satu-satunya yang belum saya lakukan adalah tidur diatas sampah,” kenang
Suharto kala itu
.
Bertapa adalah ‘keprihatinan’ ala orang Jawa dalam memahami
penderitaan, dalam keprihatinan manusia tidak boleh hidup enak, mereka
harus mendidik dirinya sendiri dengan keras agar tidak gampang mengeluh
dalam kehidupan dan kuat menghadapi godaan dalam menjalani cita-cita.
Guru Suharto paling awal dalam soal kebatinan dan pemahaman pada
nilai-nilai filsafat Jawa adalah Kyai Daryatmo yang ditemui Suharto
sewaktu muda.
Kemampuan Suharto dalam mengolah diri inilah yang kemudian berhasil
menjadikan dirinya sebagai orang disiplin. Ia juga terus menerus mencari
daya linuwih dalam kehidupannya. Ia orang yang tidak gemar kenikmatan
hidup. Ia hanya menjalani apa yang diyakininya benar, tentunya terlepas
keyakinannya itu membuat sengsara banyak orang, atau membuat keadaan
susah, ia tahu apa tujuannya.
Misteri “Diamnya” Suharto
Pak Harto mengenakan blangkon sebagai simbol orang Jawa.
Perkenalan Suharto pertama kali dengan militer adalah di KNIL.
Awalnya ia ingin melamar jadi Angkatan Laut, jadi seorang kelasi. Hal
ini ia lakukan karena melihat seorang kelasi sedang berlibur di Yogya
dan amat gagah. Namun keinginannya saat menjadi kelasi ia urungkan
ketika ia mendaftar ke Angkatan Laut Hindia Belanda, soalnya ia
mendengar bahwa lowongan yang dibuka hanya sebagai juru masak.
Sekeluarnya dari pendaftaran kelasi Angkatan Laut, tanpa sengaja ia
mendengar bahwa KNIL membuka pendaftaran. Ia amat berminat kejadian itu
sekitar akhir tahun 1939 atau awal 1940. Saat itu Hindia Belanda sedang
membutuhkan tenaga perang sekitar 35.000 orang pribumi. Saat itu memang
berkembang wacana bahwa kemungkinan Jepang masuk ke Hindia Belanda dan
tak mungkin berhadapan dengan Jepang sendirian, seperti di Filipina yang
sedang mempersiapkan perlawanan rakyat, maka Belanda harus
mempersiapkan pribumi untuk militerisasi demi menghadapi serbuan Jepang.
Tampaknya wacana militerisasi kaum pribumi menjadi mentah, karena
militerisasi ini hanya akan menjadikan ‘senjata makan tuan’ bagi Belanda
kelak dikemudian hari. Akhirnya kaum pribumi dibatalkan untuk
menghadapi Jepang. Ratusan ribu senjata yang sedianya digunakan untuk
perang disembunyikan dan Pemerintahan Hindia Belanda memilih lari ke
Australia.
Suharto masuk dalam program militerisasi besar-besaran itu dan ia
lulus sebagai yang terbaik tiga tahun kemudian, tak lama kemudian Jepang
masuk.
Ada cerita menarik ketika Suharto ingin masuk KNIL. Ia ngangon dua kerbaunya di ladang tebu dan bertemu sepupunya Sukardjo Wilardjito.
Sukardjo bercerita, “Mas Harto pamit dengan saya untuk masuk tentara
karena ia tak sempat bertemu dengan ayah Sukardjo yang kebetulan adalah
Paman Suharto dan seorang Lurah di Rewulu, Yogyakarta.”
“Kebetulan Dik, kita bertemu disini sehingga aku tak perlu ke rumahmu” katanya kepada Sukardjo.
“Ada apa sih Mas, kok rupanya penting sekali” jawab Sukardjo sambil mengerat tebu. “Penting sih tidak, cuma mau minta pamit”.
“Memang mau kemana sih mas?”
“Aku akan masuk Kumpeni,” kata Suharto.
“Sekolahan?”
“Aku sudah berhenti sekolah kok” Sukardjo heran lantas bertanya,
“Padahal kudengar Mas Harto sudah kelas tiga MULO (SMP), tidak tunggu
nanti kalau tamat saja?”
Suharto pamit kepada sepupunya untuk menjadi serdadu di Purworejo,
Jawa Tengah dan menghentikan sekolahnya. Percakapan ini menjadi penting
bukan saja karena dua orang ini memiliki hubungan saudara, tapi karena
kelak dua orang ini di tahun 1966 berhadapan di sisi yang berlainan.
Suharto memerintahkan Jenderalnya yang disebut ada tiga orang: Mayjen
Amircmachmud, Mayjen M Jusuf dan Mayjen Basuki Rachmat untuk meminta
surat perintah kekuasaan menertibkan keadaan.
Sementara di pihak lain sepupunya Sukardjo Wilardjito yang saat itu
berpangkat Letnan Satu menjadi ajudan Bung Karno. Dan menurut
pengakuannya, dia menyaksikan sendiri bagaimana Bung Karno ditodong
senjata oleh seorang Jenderal yang ia sebut sebagai Mayjen Panggabean.
Jenderal keempat dalam urusan Supersemar ini sempat heboh di awal tahun
2000, dan sampai sekarang kronologis SP 11 Maret 1966 menjadi berita
paling menghebohkan.
Namun seperti biasa berita ini tetap dimenangkan oleh pembela Suharto
yang mau tak mau Suharto telah memenangkan sejarah dengan memasukkan SP
11 Maret 1966 sebagai tonggak penting konstitusi di Indonesia.
Sukardjo kemudian diburu dan dipenjara bahkan sempat dibuang ke luar
Jawa, namun selalu urung dibunuh apakah karena mungkin ia sepupu
Suharto? Yang jelas disini Suharto bisa amat dingin membedakan mana
saudara, mana politik. Inilah yang kemudian membuat Suharto memang
merupakan Jenderal Berdarah Dingin, dan memiliki kepribadian lebih kuat
apalagi hanya dibandingkan dengan Nasution yang cenderung lemah.
Kemampuan Suharto dalam memenangkan sejarah ini tak lepas dari
kepribadiannya yang teliti sebelum mengambil tindakan dan mengamati.
Salah satu modal psikologis dalam memenangkan setiap pertempurannya
adalah ia amat “pendiam”.
Rosihan Anwar, wartawan senior Republikein yang pernah bersama
Suharto tahun 1949 pernah menceritakan hal itu. “Saya berjalan
berjam-jam dengan Suharto untuk menemui Jenderal Sudirman dan diantar
oleh dia, tapi sekalipun ia tidak bicara. Ia hanya menyetir mobil lalu
masuk pedesaan. Ia juga memetik kelapa dan satu-satunya ucapan yang ia
katakan pada saya adalah “silahkan diminum” ketika menawari air degan
(degan=kelapa muda). Ia adalah orang yang ‘kulino meneng’ (terbiasa
berdiam diri),” sebut Rosihan menjuluki watak Suharto.
Kelak di tahun 1974 surat kabar Rosihan Anwar ‘Pedoman’ dibredel
Pemerintahan Suharto, ketika Mashuri bertanya bagaimana nasib Pedoman
pasca peristiwa Malari 1974, Suharto menjawab sinis, “Wis dipateni wae
(sudah dibunuh saja)”.
Jelas ini menunjukkan Suharto amat dingin terhadap orang yang ia
kenal dimasa lalu. Ia lebih mementingkan tujuan dalam mengerjakan
sesuatu ketimbang kehangatan hubungan antar manusia.
Diam Suharto itu, kata Rosihan Anwar, modal dan itu adalah
prinsipnya. Dengan filsafat diam ia membangun kekuasaannya dengan begitu
perkasa dan tidak pernah terkalahkan oleh kekuatan politik lokal
apapun. Namun ironisnya, kekuasaan Orde Baru yang begitu besar justru
jatuh karena paradoks-paradoks masyarakat yang dibangunnya. Begitu juga
dengan kekejamannya, korupsi bahkan lebih jauh lagi merubah secara
fundamental haluan bangsa ini yang diarahkan oleh founding fathers
sebagai negara kesejahteraan bersama menjadi negara milik kaum kroni,
mungkin sampai detik ini.
Ilmu Lembu Petheng
Pak Harto bersama Bung Karno.
Suharto amat berminat dalam latihan-latihan kemiliteran. Ia juga
terpengaruh oleh ide-ide nasionalisme yang amat bergema pada masa
latihan kemiliteran di PETA. Saat itu ide paling besar dari perwira PETA
adalah: Nasionalisme Ekstrim, anti Belanda dan Anti Jepang.
Ada hal lain yang perlu dicatat PETA berbeda dengan KNIL. Dalam PETA
tidak adanya pengaruh sipil yang mengendalikan ia seakan-akan bergerak
sendiri. Sementara KNIL amat dipengaruhi keputusan sipil. Watak dasar
entitas inilah yang kemudian menjelaskan bagaimana kemudian
Jenderal-Jenderal Orde Baru lulusan PETA yang kemudian mengambil alih
kendali sejarah, memutuskan hubungan dengan sipil dan berani menghajar
Sukarno, berbeda dengan jenderal lulusan KNIL yang cenderung taat pada
otoritas sipil.
Karir Suharto melejit setelah ia mendengarkan pengumuman bahwa
Sukarno telah memerdekakan Indonesia. Ia sendiri mengakui bersorak
gembira ia larut dalam eforia kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi ia
langsung bertindak di Yogyakarta dan karena masa lalunya yang baik dalam
latihan kemiliteran ia langsung diangkat menjadi Mayor Republik.
Ini adalah keputusan menarik bagi seorang Suharto, karena
bagaimanapun sebagai eks KNIL dan memiliki karir bagus di PETA, dan ia
bisa saja menunggu Belanda dan melamar menjadi Perwira KNIL untuk perang
dengan Republik. Tapi, Suharto lebih memilih menjadi pejuang di garis
kemerdekaan Republik Indonesia. Pilihan ini tidak bisa dianggap remeh
karena ini bisa menjelaskan watak nasionalisme Suharto yang puritan,
ekstrim dan tidak aneh-aneh, setia pada merah putih walaupun kemudian ia
gagal paham soal pandangan yang lebih menjlimet lagi ‘soal kedaulatan
total’ ide yang dikeluarkan oleh Tan Malaka dan Bung Karno.
Bagi Suharto nasionalisme adalah soal kesejahteraan, cinta tanah air
dan rakyat tidak kelaparan. Nasionalisme logistik inilah yang kemudian
mewarnai Indonesia selama lebih dari 32 tahun.
Suharto adalah orang yang beruntung, ia tanpa sengaja masuk ke dalam
pusaran sejarah dan kenal dengan orang-orang nomor satu di negeri ini.
Ia bisa kenal dengan Bung Karno lewat kejadian paling bersejarah, yakni
penangkapan Djenderal Mayoor Sudarsono.
Saat itu Sudarsono adalah orang yang paling berjasa terhadap
pembentukan pasukan di Yogyakarta. Ia yang menyerang seluruh markas
Jepang dan merebut persenjataan sehingga pasukan di Yogyakarta menjadi
pasukan terkuat se Indonesia. Kekuatan pasukan inilah yang kemudian
menjadikan posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX amat penting serta
membuat seluruh kabinet Republik Indonesia mengungsi ke Yogyakarta dan
meminta perlindungan pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sekaligus
menyusun strategi militer yang lebih komprehensif untuk menghadapi
kekuatan Belanda yang menurut data intelijen Inggris dan sudah diterima
Sjahrir akan masuk lewat struktur entitas militer bernama NICA.
Di awal tahun 1946 berkembang perdebatan sengit di dua kelompok:
Kelompok Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Saat itu mereka bersatu dalam
Partai Sosialis (PS) serta menjadi dominan dalam Kabinet menghendaki
perundingan kepada Belanda. Sementara di pihak lain kelompok oposisi
yang dipimpin Tan Malaka menghendaki perang total, perang tanpa kompromi
dengan Belanda.
“Tak Perundingan, Tak ada diplomasi, Merdeka-lah kita 100%”. Dan
Kelompok Tan Malaka mendapatkan simpati hampir semua perwira militer
terutama yang berasal dari PETA. Jenderal Sudirman adalah pengagum Tan
Malaka. Ia selalu berdiri dan bertepuk tangan ketika Tan Malaka pidato.
Anak buah Sudirman, Jenderal Mayoor Sudarsono dan anak buahnya Mayor AK
Yusuf juga amat berdiri di garis Tan Malaka. Namun ada situasi over
acting muncul dari tindakan Sudarsono yang menangkap Perdana Menteri
Sjahrir dan pengikutnya.
Tindakan Sudarsono ini jelas dikecam Sukarno. Seorang pemimpin pemuda
bernama Sudjojo memerintahkan Suharto–yang saat itu sudah menjadi
Letkol karena keberaniannya dalam perang Ambarawa dan menjadi anak buah
kesayangan Jenderal Sudirman–untuk menangkap Sudarsono. Tak lama
kemudian keluar surat perintah dari Sukarno untuk menangkap Sudarsono.
Saat itu Suharto berpikir, “Bagaimana bisa ia menangkap atasannya,
orang yang paling berjasa atas lengkapnya persenjataan pasukan di
Yogyakarta dan dikagumi banyak serdadu Yogya, sementara saya sendiri
adalah pengikut Sudarsono,” pikir Suharto.
Tapi Suharto amat hati-hati membalas surat Sukarno. Katanya, ia
(Suharto) akan menangkap Sudarsono bila ada perintah dari Jenderal
Sudirman. Maka, konflik 3 Juli 1946 ini menjadi amat jelas bagi
bagaimana menilai kemampuan Suharto dalam manajemen konflik dan mengerti
atas situasi. Dan, ia mendapatkan pelajaran ‘Bahwa kekuasaan bukanlah
selalu orang yang berada di atas posisinya, tapi kekuasaan adalah mereka
yang secara realitas memegang kekuatan dan kendali atas keadaan’.
Suharto mengerti saat itu bukan Sukarno yang memegang kendali
kekuasaan, tapi Sudirman dan Tan Malaka. Soal ini secara jelas
diungkapkan banyak sejarawan pada waktu itu tentang pola kekuasaan di
Indonesia selama masa revolusi bersenjata 1945-1949. Suharto tak mau
melakukan tindakan sebelum tahu jelas sekali situasi dan tak mau
bertindak sebelum mengerti siapa yang memegang kendali keadaan. Inilah
yang kemudian menjadikan “Si Lembu Petheng’ selalu memenangkan sejarah.
Dan ucapan paling fenomenalnya adalah, “PKI berada dalam penculikan
para Jenderal” di awal Oktober 1965. Ini menunjukkan bahwa memang
Suharto memiliki informasi amat lengkap sebelum kejadian dan bukan
merupakan spekulasi. Inilah yang membedakan Suharto dengan pelaku
sejarah lainnya.
Memang, diakui seluruh bangsa, Sukarno merupakan Bapak Pembebas
Rakyat Indonesia, tapi mau tak mau peradaban sekarang ini tetaplah
peradaban Suhartorian bahkan di jaman era reformasi sekalipun. Seluruh
pemegang kekuasaan saat ini merupakan anak didik Suharto yang diberi
fasilitas pada jaman Suharto, hampir 100 persen pelaku penting politik
saat ini bukanlah orang yang melawan Suharto. Inilah yang menjelaskan
kenapa Sudjiwo Tedjo mengatakan ‘Siapa Bapak Kandung Suharto?’
Yah, kekuatan tanpa rasa minder, kekuatan (ilmu) Lembu Petheng itulah
bapak kandung Suharto. Seperti ketika Suharto disindir oleh Mayjen S
Parman sebelum kejadian 1965, “Suharto itu siapa, pendidikannya apa,
arep melu-melu ngurus negoro”. Juga, ada beberapa catatan sejarah
tentang para Jenderal yang berpendidikan tinggi dan mengejek Suharto
apalagi ketika Suharto dengan lihai menggantikan posisi Bung Karno
sebagai Presiden RI di tahun-tahun awal kekuasaannya. Saat itu Suharto
selalu menerima banjir ejekan atas dirinya yang kurang berpendidikan dan
memiliki masa lalu tak jelas.
Tapi, keadaan itu dijawab Suharto dengan tenang termasuk ketika ia
mengadakan konferensi pers saat itu di tahun 1974, ramai sekali
perdebatan siapa Bapak Kandung sesungguhnya Suharto. Bahkan Mashuri,
bekas tetangga Suharto dan mantan Menteri Pendidikan memberikan
keterangan bahwa Suharto adalah anak keturunan Cina. Saat itu ramai
spekulasi bahwa Suharto adalah anak kandung Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII, artinya dia adalah adik kandung Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ada
juga yang menyatakan bahwa ayah kandung Suharto adalah, orang yang
memegang payung kuning Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Namun
spekulasi-spekulasi itu dijawab tenang dengan ilmu ‘Lembu Petheng’
Suharto, “Saya adalah anak Petani”.
Ya, Suharto adalah anak petani yang secara politik bisa mengalahkan
Sudarsono, DN Aidit, Sukarno, Hatta, Nasution dan seluruh orang besar di
negeri ini yang mustahil dikalahkan. Secara politik, ia hanya
dikalahkan oleh umurnya sendiri.
Bung Karno Sudah Meramal Pak Harto Sebagai Penggantinya
Ki Utomo Darmadi. Dia seorang purnawirawan kapten TNI-AD, yang
kebetulan banyak tahu jalannya sejarah, karena berada di lingkar satu
Istana. Menjadi tentara tahun 1945, purnawirawan vokal ini tak lain
adalah adik kandung pahlawan Peta, Suprijadi. Dalam banyak forum
nasioanalis, ia acap bicara lantang. Tak jarang membikin merah kuping
orang yang ditudingnya langsung.
Soal Pak Harto, dia mengatakan, orang boleh saja menghujat
habis-habisan Pak Harto. Tetapi, katanya, Pak Harto adalah penyelamat
Bung Karno. Kalau saja waktu itu pengganti Bung Karno bukan Pak Harto,
bisa jadi Bung Karno “dieret-eret” di jalanan. Kalau saja pengganti Bung
Karno bukan Pak Harto, belum tentu nasib anak-anaknya seperti sekarang.
Ia lantas mengisahkan, peristiwa tahun 1963 yang ia katakan bahwa
Bung Karno sudah meramalkan Pak Harto-lah yang akan menggantikannya
menjadi Presiden RI ke-2. Tomi, begitu ia akrab disapa, menyodorkan dua
peristiwa bersejarah terkait hal itu. Pertama adalah kejadian setelah
Pak Harto sukses sebagai Panglima Komando Mandala, dalam operasi
Trikora, dengan misi tunggal mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu
Pertiwi.
Nah, setelah itu, Bung Karno menggelorakan Operasi Dwikora, atau yang
kita kenal Ganyang Malaysia tahun 1963. Sebagai Panglima diangkatlah
Oemar Dhani (Angkatan Udara). Nah, di sinilah Pak Harto tampak kecewa.
Dia kemudian menghadap Bung Karno dan menyatakan niatnya “mengundurkan
diri”. Bung Karno lantas bertanya, “Nek pensiun, trus kowe arep dadi apa?” (Kalau pensiun, terus kamu mau jadi apa?).
Soeharto menjawab, “Menawi kepareng, dados gubernur Irian Jaya” (Kalau diizinkan, jadi gubernur Irian Jaya).
Di luar dugaan, Bung Karno menolak dengan menjawab, “Ora… kowe dudu gubernur… terus tirakat… kowe sak nduwure gubernur.” Kurang lebih artinya, “Tidak… kamu bukan gubernur… teruslah tirakat… kamu di atasnya gubernur”
.
Inilah yang oleh Tomi Darmadi disebutkan sebagai salah satu isyarat,
bahwa Pak Harto bakal jadi presiden. “Dalam konteks pemimpin teritorial,
di atas gubernur apa? Ya Presiden,” tegasnya.
Tidak hanya itu. Tomi Darmadi lantas mengilas balik peristiwa sidang
kabinet, kurang lebih tahun 1964. Kebetulan Tomi Darmadi ada di ruang
itu. Para petinggi militer yang hadir antara lain disebutkannya, ada
Mayjen Ginting, Mayjen Sukowati, Brigjen Juhartono, dan Ahmadi. Achmadi.
Tomi mendengar ketika Bung Karno secara santai bertanya kepada Achmadi,
“Mad, yang nanti mengganti saya, siapa?” Yang ditanya menjawab spontan,
“Mas Yani, Bung” Maksudnya adalah Jenderal Ahmad Yani.
Aneh, Bung Karno membelalakkan mata dan memberi isyarat “bukan”.
“Bukan! Yang mengganti (saya), itu tuh, yang mengenakan celana kombor.”
Bicara begitu sambil melirik ke arah Soeharto yang ada di sudut ruang
yang lain, agak jauh dari posisi Bung Karno dan Achmadi.
Usai kejadian itu, Tomi Darmadi dan sejumlah petinggi Angkatan Darat
di Front Nasional sempat bergunjing. Tidak sedikit yang memandang remeh
Pak Harto dengan mengungkit “SD saja tidak tamat”. Di samping ada juga
yang mengingatkan forum itu dengan mengatakan, “Tapi ingat lho… Bung
Karno itu punya ilmu ladunni... dia tahu segala sesuatu yang belum terjadi….”
Sejarah kemudian mencatat, sejumlah jenderal Sukarnois tadi sempat
meringkuk di penjara Orde Baru…. Belasan tahun kemudian, ketika mereka
keluar penjara dan bertemu kembali, topik itu pun kembali disinggung….
Komentar mereka pendek saja, “Ternyata Bung Karno benar….”mudjib/rsd