IMG_9469

Lingga yang nampak berdiri di Makam Hyang Lingga Teuas di Winduraja. Jejak lingga ini disinyalir sebagai warisan leluluhur Kerajaan Sunda, Galuh Galunggung dan Majapahit.

Di Desa Winduraja, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, ternyata menyimpan segudang sejarah masa lalu. Pada ribuan tahun yang lalu, konon di sana terdapat kerajaan sunda kuno yang menjadi cikal bakal berdirinya sejumlah kerajaan di tatar sunda, bahkan di nusantara.
Kini, beberapa peninggalan masa lalu berupa makam para petinggi kerajaan di sana masih tampak terawat, namun sedikit orang yang mengetahui bahwa dari Winduraja-lah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Majapahit.
Menurut naskah Carita Parahyangan 1579 M, dituliskan bahwa Winduraja adalah tempat pemusaraan yang dipilih oleh ketiga Raja Sunda. Pertama, yakni Rakeyan Gendang dengan gelar Brajawisesa (989-1012 Masehi), putra Prabu Wulung Gadung (Sang Luma Hing Jayagiri).
Kedua, yakni Raja Darmaraja, merupakan penguasa Sunda Galuh, yang memerintah dari tahun 1042-1065 M, dengan nama nobat Prabu Darmaraja Jaya Manahen Wisnumurti Salaka Sunda Buana, dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Winduraja.
Selanjutnya, yang Ketiga adalah Raja Darmakusumah, yang memerintah Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Galunggung, pada tahun 1157-1175 Masehi. Tak heran dia dijuluki sebagai Maha Prabu.
Dari keturunan Darmakusuma lahirlah seorang Raja Kerajaan Sunda terkenal, yakni Darmasiksa, yang memerintah pada tahun 1171-1297 M. Sementara itu, Cicit Darmakusumah adalah Sang Nararya Sangramawijaya alias Rakeyan Raden Wijaya, yang merupakan pendiri kerajaan Majapahit.
“Rangkaian cerita ini pula yang kami jadikan pijakan bahwa Winduraja jadi puser tiga kerajaan, yakni Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung,” ungkap Ketua Komunitas Galuh Etnik Winduraja, Atus Gusmara, beberapa Waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Atus menyebutkan, jika ditilik dari jejak warisan sejarah, di Desa Winduraja ditemukan lingga, disatu makam kuno, seperti di makam Sang Hyang Lingga Teuas, yang tidak jauh dari makam Eyang Maharaja Sakti.
“Ada juga batu berundak di makam Argadinata, dengan disertai batu yang mirip dengan dolmen,” paparnya.
Masih menurut Atus, jejak sejarah tersebut seolah berserakan di setiap Dusun di Desa Winduraja. Selain makam kuno, jejak pantulan kepurbakalaan yang menyiratkan suatu peninggalan kerajaan adalah gugunungan sebagai tempat istana kerajaan berdiri, dan bumi alit sebagai tempat persenjataan kerajaan.
“Lokasi yang di kelilingi gunung syawal, dekat dengan sungai Cimuntur, sebagai tanda-tanda jejak kerajaan,” ujarnya.
Belum lagi, kata Atus, adanya bendungan Gajah Dauan, yang dibuat dari batu bertumpuk, yang menyiratkan warisan suatu kerajaan. “Masyarakat di sekitar lokasi gugunungan dan bumi alit sangat meyakini hal ini,” imbuhnya.
Atus meminta, Dinas Pariwisata dan Balai Arkeologi Nasional, untuk turun melakukan penelitian jejak pantulan kepurbakalaan di desanya tersebut. “Kami harapkan, mereka turun meneliti jejak warisan budaya leluhur ini,” pungkasnya.
Dalam penelusuran pustaka, buku Sejarah Jawa Barat Jilid ke-3 Tahun 1983-1984, diceritakan, Sri Jayabupati wafat tahun 1042 M. Ia digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Salakasundabuana (1042 – 1065 M) atau sang mokteng Winduraja. Cicit raja ini, Prabu Darmakusuma (1157 – 1175 M) juga dipusarakan di Winduraja.
Kemudian, Prabu Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 – 1155 M) atau sang mokteng Kerta. Dimungkinkan seorang cucunya diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Kesanananta Wikramotunggadewa (1102 – 1104 M) atau prabu Surya Amiluhur.
Raja ini hanya dua tahun memerintah, karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari Jawa Barat. Disinyalir dialah yang disebut Prabu Banjaransari yang lari dari Kediri dalam Babad Galuh. Peristiwa yang menarik dalam sejarah  pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Geger Hanjuang atau Prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung.
Tempat prasasti ini ditemukan, oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat nomor D-26.