.

1 Mei 2014

Soeharto Berziarah ke Cilacap di Malam Hari


 
50852_475
Jauh sebelum menjadi Presiden RI ke-2, Soeharto telah mendalami ilmu kebatinan Jawa bersama Soedjono Hoemardani. Keduanya bergabung dalam ikatan persaudaraan mistikal di Sendang Titis, Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY.
Di kemudian hari, setiap Suro atau tahun baru Jawa, Soedjono pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ia tidak sendiri, melainkan bersama Hoemardhani bersama Romo Dijat, guru spiritual Soeharto. “Rama Dijat yang menemukan lokasi padepokan ini, dan Soedjono yang membangunnya,” kata Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia.
Soeharto sendiri tak asing dengan petilasan di Cilacap. Ia pernah berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo, di sisi selatan Bukit Srandil. ”Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan,” kata Adi Suwarto, juru kunci yang pernah mengantarkan Soeharto berziarah. “Dia datang malam hari dan hanya sekitar dua jam saja.”
Menurut Romo Dijat, letak geografis Jambe Pitu memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh atau pesan dari leluhur. Kala Tempo ke sana, petilasan ini diteduhi pohon-pohon akasia dan ramai oleh puluhan kera. Sedangkan pintu gerbang petilasan Jambe Pitu dibangun dari batu hitam candi.
Untuk mencapai bangunan petilasan, peziarah harus melewati jalan berlantai batu hitam sepanjang 300 meter. Luas kompleks megah itu sekitar 50×30 meter. Dan tembok setinggi dua meter mengeliling kompleks bangunan.
“Di bangunan utama, berupa rumah kecil, ada foto Raden Panji Soedijat Prawirokoesoema alias Romo Dijat,” tulis artikel: Soedjono dan ‘Orde Dhawuh’, Edisi Khusus Majalah Tempo, 10 Februari 2008.
Di rumah kecil itu, Romo Dijat memberikan petuah bagi muridnya. Sementara pada bangunan lain, berbentuk rumah dengan empat kamar besar berlantai keramik warna hijau tua, Soedjono dan lingkarannya saling berdialog dengan pesan leluhur. “Semua dhawuh direkam dan dicatat, bahkan diterbitkan sebagai buku kumpulan dhawuh yang diedarkan di kalangan terbatas,” kata Budyapradipta.
Sumber : Tempo