.

1 Mei 2014

Silsilah Kerajaan Sunda

 

1. Timeline
2. Arti Kata Sunda dan Philosopinya
3. Salakanagara
4. Tarumanegara
5. Kerajaan Kembar
6. Kerajaan Sunda
7. Kerajaan Galuh
8. Kerajaan Sunda – Galuh bersatu
8. Kerajaan Sumedang Larang
9. Daftar istilah
10. Kerajaan Cirebon
11. Kesultanan Banten
12. KUJANG
13.PRABU SILIWANGI
14. Aksara dan Angka Sunda
15.Dyah Pitaloka, Gajah Mada dan Perang Bubat yang Fenomenal
16.Kanjeng Ratu Roro Kidul


Arti Kata Sunda dan Philosopinya
Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.
Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll
Salakanagara
dengan ibukota di Teluk Lada Pandeglang (Rajatapura)

Pendiri :Aki Tirem
Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Kota ini sampai tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII). Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII

Tarumanegara
Pendiri : Jayasingawarman (358 – 382)
Ibu Kota : Bekasi (Tarumanagara) kemudian pindah ke Bogor (Sundapura)
Berikut adalah raja-raja Tarumanagara:

1. Jayasingawarman (358 – 382) Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah. Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).
2. Dharmayawarman (382 – 395 M)
3. Purnawarman (395 – 434 M), Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya “Sundapura”. Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Pustaka Nusantara,parwa II sarga 3 (halaman 159 – 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga?) di Jawa Tengah. Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
4. Wisnuwarman (434-455)
5. Indrawarman (455-515)
6. Candrawarman (515-535 M)
7. Suryawarman (535 – 561 M)
8. Kertawarman (561-628)
9. Sudhawarman (628-639)
10. Hariwangsawarman (639-640)
11. Nagajayawarman (640-666)
12. Linggawarman (666-669)
13. TARUSBAWA (669 ? 723 M)

Saat Linggawarman, raja Tarumanagara yang berkuasa dari tahun 666 meninggal dunia di tahun 669, kekuasaan Tarumanagara jatuh ke Tarusbawa, menantunya dari Sundapura, salah satu wilayah di bawah Tarumanagara. Karena Tarubawa memindahkan kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura, pihak Galuh (vassal state), dipimpin oleh Wretikandayun (berkuasa dari tahun 612), memilih untuk berdiri sebagai kerajaan mandiri. Adapun untuk berbagi wilayah, Galuh dan Sunda sepakat menjadikan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Kerajaan Tarumanegara berakhir dan pecah menjadi dua kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Sunda-Galuh
Kerajaan Kembar
Seperti telah diceritakan diatas, Kerajaan Tarumanegara pecah menjadi dua
kerajaan yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Keduanya berstatus Negara
independen dan merdeka. Namun seiring dengan berjalannya waktu, akibat
perkimpoian diantara keluarga kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh terkadang kedua
kerajaan berada dibawah pemerintahan seorang Raja yg memerintah sekaligus kedua
Kerajaan itu. Berikut ane cantumkan Raja raja yg memerintah dikedua kerajaan. Yg
ane warna merah berarti memerintah
rangkap baik di Kerajaan Sunda maupun kerajaan Galuh.

Kerajaan Sunda
 

  1. Maharaja Tarusbawa , masa pemerintahan 669-723,
     
  2. Sanjaya Harisdarma, masa
    pemerintahan 723-732, cucu-menantu no. 1
     
  3. Tamperan Barmawijaya, 732-739
     
  4. Rakeyan Banga 739-766
     
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
    766-783
     
  6. Prabu Gilingwesi 783-795, menantu no. 5
     
  7. Pucukbumi Darmeswara 795-819 , menantu no. 6
     
  8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
     
  9. Prabu Darmaraksa 891-895, adik-ipar no. 8
     
  10. Windusakti Prabu Dewageng 895-913
     
  11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
     
  12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942, menantu no. 11
     
  13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
     
  14. Limbur Kancana 954-964, anak no. 11
     
  15. Prabu Munding Ganawirya 964-973
     
  16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
     
  17. Prabu Brajawisesa 989-1012
     
  18. Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
     
  19. Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
     
  20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042
Kerajaan Galuh
 

  1. Wretikandayun 670-702
     
  2. Rahyang Mandiminyak 702-709
     
  3. Rahyang Bratasenawa 709-716
     
  4. Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
     
  5. Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no.
    3
     
  6. Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
     
  7. Tamperan Barmawijaya 725-739 anak
    no. 5
     
  8. Manarah 739-783 anak no. 6
     
  9. Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
     
  10. Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
     
  11. Sang Walengan 806-813
     
  12. Prabu Linggabumi 813-852
     
  13. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12
Kisah Pergantian Raja di kedua kerajaan
Kisah pergantian Kekuasaan di kerajaan kembar I
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.

Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa,untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Ditangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran
Pergantian kekuasaan di Kerajaan Kembar II
Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739),lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut CiungWanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766),tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan
kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.

Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.

Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan
Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).

Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ke puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan
kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-
1042).

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali
lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, RakryanSaunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303).

Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak
perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya –Niskalawastukancana — masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Kerajaan Sunda – Galuh bersatu
 

  1. Darmaraja\t1042-1065
     
  2. Langlangbumi\t1065-1155
     
  3. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur\t1155-1157
     
  4. Darmakusuma\t1157-1175
     
  5. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu\t1175-1297
     
  6. Ragasuci\t1297-1303
     
  7. Citraganda\t1303-1311
     
  8. Prabu Linggadéwata\t1311-1333
     
  9. Prabu Ajiguna Linggawisésa\t1333-1340, menantu no. 8
     
  10. Prabu Ragamulya Luhurprabawa\t1340-1350
     
  11. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa\t1350-1357, tewas dalam Perang Bubat
     
  12. Prabu Bunisora\t1357-1371, paman no. 13, adik no 11
     
  13. Prabu Niskala Wastu Kancana\t1371-1475, anak no. 11
     
  14. Prabu Susuktunggal\t1475-1482
Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam
pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda)
dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh). Sri Baduga Maharaja
(1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal
menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Akhir Kerajaan Sunda-Galuh Bersatu
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan
Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun
1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar
Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian
Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543),
Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta
Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini
merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa
kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten.

Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat
patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang
Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan
pemerintahan. Dengan demikian maka Kerajaan Sumedang Larang dianggap sebagai
penerus Kerajaan Sunda Galuh

Kerajaan Sumedang Larang
Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat
patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang
Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan
pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama
Hindu, yangdidirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.

Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami
beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di
Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur,
memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih
pada abad ke XII.
Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian
pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti
menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata �Insun medal; Insun madangan�.
Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun
Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi
Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah
pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingnya.

Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang\t
 

  1. Prabu Guru Aji Putih\t900
     
  2. Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela\t950
     
  3. Prabu Gajah Agung\t980
     
  4. Sunan Guling\t1000
     
  5. Sunan Tuakan\t1200
     
  6. Nyi Mas Ratu Patuakan\t1450
     
  7. Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata\t1530 – 1578
     
  8. Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya\t1578 – 1601
Akhir Kerajaan Sumedang Larang
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan
sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang
dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena
penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan
Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat
prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang
dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante.
Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran,
kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger,
tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan
Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu
Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah
Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten
(wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya
mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan
Pajajaran Galuh Pakuan (sunda-Galuh) menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang,
sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya
Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan
Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya
Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan
Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan
Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu
mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan
Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa
kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan
bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun
menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan
tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya
(Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia
mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan
disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung
Jati.

Maka sejak itu Kerajaan Sumedang Larang menjadi vassal state Mataram Islam.
Istilah
Biar ga bingung membedakan istilah Kerajaan Sunda, Galuh, Pakuan, Padjajaran,
pakuan Pajajaran, berikut ane jelaskan terlebih dahulu
 

  • Kerajaan Sunda = sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda
    merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri
    Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah
    hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari
    Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya
    perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari
    Sunda. Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan ke Sunda, sehingga
    berdirilah kerajaan Sunda.
     
  • Kerajaan Galuh= Karena Tarusbawa memindahkan pusat kerajaan ke Sunda,
    maka kerajaan Galuh yg merupakan vassal state dari Tarumanegara menyatakan
    merdeka. Akhirnya berdirilah kerajaan Galuh.
     
  • Pakuan=adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton
    atau istana
     
  • Padjajaran=berjajar
     
  • Pakuan Padjajaran=Istana yang berjajar, karena ada lima (5) bangunan
    keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan
    Suradipati.
     
  • Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya,
    Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas
    menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama
    keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas
    menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa
    sehari-hari cukup disebut Yogya.
Sunda-Galuh=Pakuan Pajajaran
Kerajaan Cirebon
Asal muasal
Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Pimpinan Cirebon
1. Ki Gedeng Tapa (pendiri)

2. Ki Gedeng Alang-Alang, menggantikan ki Ki Gedeng Tapa. Sebagai wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja, Raja Sunda-Galuh/Pajajaran)


3. Raden Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana, Sultan Cirebon Pertama

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran (Kerajaan Sunda Galuh saat itu lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, Jadi ga usah bingung Sunda Galuh Bersatu=Pakuan Pajajaran=Pajajaran). Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang – ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon


4. Sunan Gunung Jati (1479-1568)
5. Fatahillah (1568-1570)
6. Panembahan Ratu I (1570-1649)
7. Panembahan Girilaya alias Panembahan Ratu II (1649-1677)


Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon
maka semenjak itu, penguasa di Kesultanan Cirebon diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, artinya Kesultanan Cirebon menjadi vassal state Kesultanan Banten.

Kesultanan Banten
screenshot_00149

Kesultanan Banten ane masukin kedalam jajaran Kerajaan Sunda karena tentu saja penduduknya masih orang Sunda, dan setelah meruntuhkan Pajajaran, Banten Mengklaim bahwa mereka adalah penerus kerajaan Pajajaran
Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 – 1570
Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 – 1585
Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 – 1596
Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 – 1647
Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad 1647 – 1651
Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 – 1687
Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 – 1690
Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 – 1733
Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 – 1747
Ratu Syarifah Fatimah 1747 – 1750
Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 – 1773
Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 – 1799
Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 – 1803
Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 – 1808
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 – 1813


Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.